Lima

135 22 18
                                    

"Saya sudah berusaha untuk mencarinya sebisa mungkin."

"Bukan itu yang ingin aku dengar."

"Semua sudah saya laporkan, bukan? Bahkan semua yang saya lihat dan temukan saat perjalanan ke Bellegeussa waktu itu."

"Ya. Tapi itu semua tidak penting bagiku. Karena yang ingin kudengar hanyalah kepastian! Kau bisa atau tidak!"

"Tidak ada yang tidak bisa saya lakukan."

"Jika begitu lekas kerjakan! Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

"Berikan waktu sedikit lagi!"

"Lagi? Setelah beberapa tahun kau sia-siakan, kali ini kau meminta waktu lagi? Dengar! Tiga hari dari sekarang, kau sudah harus memiliki kepastian."

Telepon diputus secara sepihak. Lelaki yang terdengar marah-marah sepertinya sudah malas untuk berbicara dengan lawannya melalui telepon. Sementara si lelaki berambut cokelat yang menjadi korban amarah tadi tentu merasa kesal. Dia membanting telepon dalam genggamannya hingga hancur. "Sialan!" umpatnya kesal.

Langit sangat cerah, mungkin terasa panas bagi beberapa orang. Namun lelaki berambut cokelat tadi tetap memakai jaket hitam dan menutupi kepala dengan tudung jaketnya. Umurnya masih cukup muda, mungkin sekitar dua puluh empat tahun. Namun wajahnya penuh bekas luka, menandakan betapa beratnya perjuangan yang telah dia lalui. Lelaki tersebut membawa sebuah tas yang sama-sama hitam. Lalu mulai berjalan menuju ke suatu tempat.

Perjalanan selama beberapa jam dilalui. Hingga akhirnya dia pun sampai di depan sebuah rumah yang beberapa kali dia cek kebenaran nomornya. Setelah yakin karena sempat mengintip melalui jendela, dia pun menerobos masuk tanpa menetuk pintu lebih dulu.

"Hey, hey! Siapa kau?!" bentak si pemilik rumah. Pria berkumis lebat yang berwajah seram langsung siaga menyambut sang tamu tak diundang.

"Kau Hendry, bukan?"

"Mau apa kau masuk ke rumah orang tanpa izin? Pergi!" bentak si pemilik rumah lagi.

Si lelaki bertudung membalikkan badan menuju pintu. Namun dia tidak keluar dan justru menutup pintu rapat. Setelahnya dia mulai berjalan mendekat kearah si pria berbadan besar.

"Kau Hendry, pegawai Orion, kan?"

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Cepat pergi sebelum aku menggunakan kekerasan!"

Meski diperingatkan berkali-kali, si lelaki muda tidak kunjung pergi. Dia jsutru semakin mendekat dan mendekat. Hingga akhirnya si pria berbadan besar kehabisan kesabaran dan menyerang tamunya. Sayangnya dia tidak cukup kuat dan malah dilumpuhkan oleh si pemuda dalam sekali serangan.

Badan si pria berdebum menindih lantai kayu lapuk. Dia kini bisa melihat jelas wajah dari si penyerangnya. "Tu-tuan Will?" ucapnya sembari meringis. Beserta dicampur perasaan tidak percaya. "Ma-maafkan saya, saya tidak menyangka-"

"Bangun!" Will menjenggut kerah baju Hendry.

"Apa tuan ingin minum sesuatu?"

"Aku tidak butuh! Aku datang hanya untuk menanyakan sesuatu."

"A-apa itu?" tanya Hendry dengan penuh rasa takut.

"Sudah sejak lama aku kembali ke kantor untuk memeriksa komputer di seluruh markas Orion. Bahkan aku sampai rela mengunjungi kota rongsokan di tengah laut itu hanya untuk mencari informasi. Padahal aku tahu semua yang kubutuhkan ada di dalam komputer Orion! Tapi kenapa aku tetap tidak bisa mengaksesnya? Bertahun-tahun aku mencari berbagai cara tapi hasilnya nihil!"

Crystal [Sequel of Aster Trilogy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang