Sebelas

80 12 7
                                    

Suara percikan api unggun memecah heningnya malam yang dingin. Semua orang tengah mengistirahatkan tubuhnya, namun belum satu pun yang tertidur. Masih merasa khawatir akan serbuan yang sewaktu-waktu akan datang.

Semak-semak tinggi menjadi pelindung mereka dari ganasnya angin malam. Nyanyian burung hantu terdengar sedang meninabobokan makhluk di sekelilingnya. Atau mungkin dia hanya sedang merasa heran kenapa manusia-manusia di dekatnya masih belum juga terlelap?

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Semua masih kesulitan untuk memejamkan mata. Tapi tidak ada satu pun yang berbicara. Mereka hanya memandangi langit luas, atau api yang masih berkobar di tengah kerumunan.

Chris merasa tubuhnya berdenyut saat digerakan sedikit saja. Meski tidak terlihat, mungkin punggungnya sudah dipenuhi memar kebiruan sekarang. Tapi dia tidak ingin merengek seperti anak kecil hanya karena hal seperti itu. Saat ini ada hal lain yang lebih pantas untuk dikhawatirkan olehnya. Yaitu bagaimana caranya dia bisa sampai di lokasi konferensi yang akan diadakan beberapa hari lagi.

"Keadaan seperti ini sedikit mengingatkanku pada hari pertama di Nibbana," ucap Simon. Semua mata langsung terarah padanya. Sementara lelaki berkuncir itu masih merebahkan diri di atas tanah sembari memandang langit malam yang bertabur bintang. Bibirnya sedikit tersungging berkat kenangan yang mulai bermunculan.

"Bukan saatnya membahas hal seperti itu," protes Erik.

Akan tetapi, Bianca yang bersandar pada bahu sang kekasih itu tidak setuju. "Justru tidak apa. Kita sudah terlalu tegang saat ini. Jadi menurutku tidak masalah sedikit membicarakan hal yang baik."

"Huh, justru tidak ada hal yang baik saat baru saja sampai di Nibbana."

"Iya, sih. Tapi entah kenapa jika dipikirkan lagi sekarang, aku justru merasa senang. Meski saat itu benar-benar tidak menyenangkan." Bianca memutar kembali ingatannya akan kejadian sewaktu seekor macan mengejarnya. Saat itu Aster datang untuk menyelamatkan dan justru rela menerima sakit yang seharusnya bersarang pada tubuhnya.

Alby pun turut tersenyum. Bayangan wajah gadis yang sempat dia cintai waktu itu pun muncul. Saat-saat itu memang bukan kenangan yang menyenangkan, tapi kini dia merasa rindu bisa berkumpul dengan teman-teman yang masih selengkap dulu. "Aku tidak menyangka sekarang hanya kita yang tersisa."

"Iya. Aku benar-benar rindu pada Edy, Jo, Tony, apalagi Aster," sambung Genta. "Dulu aku masih jadi anak-anak yang selalu merepotkan."

"Bukannya sampai sekarang?" celetuk Erik, membuat semua tertawa kecil. Sementara si pemuda keriting sedikit cemberut.

Tentu saja Chris tidak mengerti apa-apa. Namun tetap turut menyimak perbincangan rekan-rekannya kali ini.

"Ya, semua orang yang dulu pernah berpetualang bersama membuatku rindu. Tapi, entah kenapa aku merasa beruntung karena saat ini masih merasa Aster ada bersama kita," ujar Alby.

Simon tertawa pelan. "Kalian ini memang berbakat mengejutkan orang lain, ya?" tanyanya pada Chris yang terdiam sejak tadi.

"Apa aku dan Aster semirip itu?"

"Jika kamu menjadi kami, pasti akan berpikir seperti itu juga," sambung Bianca.

"Ya, untuk beberapa hal memang sangat mirip," kali ini Erik pun turut berpendapat. "Tindakan gegabahnya, sifat nekatnya. Hanya saja ada satu yang berbeda."

Chris sedikit merasa penasaran. Dia akhirnya mengarahkan pandangan ke arah Erik setelah sebelumnya hanya terpaku menatap bara api.

"Kakakmu itu memang hobi memberikan ide gila. Tapi dia selalu melakukannya atas dasar menyelamatkan orang lain, dan sering meminta pendapat yang lain sebelumnya. Mungkin kamu harus belajar darinya."

Crystal [Sequel of Aster Trilogy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang