"Saat kau di sisiku, kembali dunia ceria."
( 📣. JaemRen Canon! )
-------------------------------------
Malam itu uap putih yang mengepul dari cangkir porselen lari ke luar lewat jendela yang mengantuk lalu terseret angin; aroma espresso yang kuat menempel pada kain sofa, sarung-sarung bantal, dan linen. Tak ada garis minat yang terlukis dari paras sang pemuda kenamaan Na Jaeminㅡtermasuk pada secangkir espresso kegemarannya. Yang tersurat hanya letih yang tercetak jelas dari kantung matanya yang berkantung. Helaan napasnya kembali terdengar untuk kesekian kalinya dalam tiga puluh menit terakhir. Kentara menyedihkan.
Perasaan puspasㅡcampur adukㅡyang kian lama kian meningkat intensitasnya membuat relung batinnya porak poranda. Penat, kecewa, amarah, juga kesedihan bersatu padu hingga Jaemin tak mampu melukiskan seberapa kelabunya ia saat ini.
Sejenak sang pemuda Na menyesap espresso keduanya malam itu sebelum mengalihkan poros atensinya pada daun pintu kayu bercat gading yang tertutup rapat. Jaemin menggigit ujung lidahnya; sesungguhnya urgensi untuk menyambangi seseorang di balik bilik yang tertutup rapat itu teramatlah tinggi. Akan tetapi ia cukup warasㅡdan sayang akan dirinya sendiriㅡuntuk tidak berbuat demikian. Jarum jam sudah mengarah pada angka dua belas; probabilita tipis ia akan disambut 'hangat' oleh sang penghuni bilik.
Tetapi Na Jaemin tetaplah Na Jaemin. Peduli setan dengan berbagai skenario yang bermunculan dalam otaknya.
Skenario optimis; sang penghuni kamar belum terlelap dan akan menghadiahkan sebuah pitingan padanya. Skenario realistis; sang penghuni bilik tengah bergelung dalam selimut tebalnya dan terlelap dengan indahnya. Skenario pesimis; sang penghuni bilik belum tenggelam dalam lelapnya dan menyambutnya dengan baik.
Tidak terbalik, sungguh. Na Jaemin terlampau paham dengan posisinya saat ini juga peringai sang penghuni kamar yang siap meletup kapanpun ia mau.
Kedua tungkai jenjangnya melangkah pasti menuju ke arah bilik yang terletak di sudut kananㅡtepat di dekat pantry. Jaemin menarik napasnya dalam-dalam sebelum memutar gagang pintu dengan teramat hati-hati; mencegah decitnya agar tak terlalu kentara.
Sudut bibir tipis sang pemuda Na terangkat samar, membentuk kurva asimetris kala menangkap sesosok pemuda lain yang tengah berkutat dengan gawainya. Jaemin tidak beranjak satu inci punㅡia tetap memaku kedua tapalnya dan meniti air muka sang pemuda yang tampak tak tergoyahkan barang seuntil pun.
"Kukira kamu memiliki alasan khusus untuk mendatangi kamarku di tengah malam begini, Jaemin-ah," tutur sang penghuni kamar dengan tenangㅡtanpa mengalihkan poros atensi dari gawainya.
Jaemin tidak bergeming. Perasaan puspas yang masih menggelayuti diri menghempaskan dirinya hingga tak mampu merangkai kata maupun memilah diksi dengan baik. Lisannya mengeluㅡdan Jaemin membenci itu.
"Apa alasanmu datang ke kamarku itu untuk melubangi wajahku dengan tatapanmu itu, huh?"
Pertanyaan yang tertangkap teramat sangsi di kedua rungu sang pemuda Na justru membuat kekehannya mengudara. Ia pun berangsur mendekat ke arah sang lawan bicara dan meletakkan gawainya di atas nakas.
"Bisakah kamu memasak sesuatu untukku, Injun-ah?" pinta Jaemin dengan teramat tipis; hampir seperti bisikan yang tak mampu Renjunㅡsang penghuni bilikㅡtangkap dengan baik.
Alis sebelah kiri Renjun terkatrol; menampakkan keterkejutan juga keheranannya atas permintaan sang pemuda Na. Sekitar tiga hingga empat pertanyaan bermunculan dalam otaknya, namun urung ia cetuskan karena dirinya kepalang mafhum akan situasi yang tengah melanda Jaemin.