0.03

183 26 0
                                    

#PJM

Bagaikan hujan uang, lembaran uang berserakan di atas lantai, berhamburan di sekeliling seorang gadis yang tengah berlutut menangis. Suara tangisannya terdengar parau dan menyayat hati.

"Ini kan, yang kau mau?" Teriakku keras. Aku marah.

Gadis itu menggeleng, tangannya meraba ujung kerah bajunya dan menariknya ke posisi semula. Menutupi sebagian bahu dan leher putihnya yang terbuka.

"Kau sama saja dengan keluargamu yang tahunya cuma uang, sampai menjual putrinya pada renternir!" Aku hampir tersedak oleh perkataanku sendiri, bagaimana aku bisa mengatakan hal itu sedangkan 'renternir'nya adalah ayahku sendiri, Tuan Park.

Gadis yang sudah aku nikahi ini, dijadikan jaminan oleh keluarganya yang berhutang banyak pada ayahku.

Selama empat bulan pernikahan kami, siklusnya tetap sama. Aku tergoda pada kulit mulus dan bentuk badannya yang sintal. Aku mulai menyentuhnya dan dia selalu menolakku.

Naluri laki-laki membuatku memaksanya untuk menerima sentuhanku. Tapi semuanya harus berhenti, karena dia mulai menangis dan menutupi dada atau pahanya, tergantung bagian mana dulu yang aku buka. Lalu dengan bodohnya aku terdiam, menjauh, dan marah. Gadis ini benar-benar tahu caranya mempermainkan nafsuku.

Sampai suatu pagi, aku pernah mendengar gadis itu berdoa, "Tuhan, aku ingin menyerahkan kesucianku pada pria yang benar-benar aku cintai!".

Masih dengan gadis itu yang tertunduk, bahunya sudah tidak lagi berguncang. Ku rasa dia sudah mulai tenang. Aku menghela nafas kesal sambil mengacak rambutku yang sudah berantakan.

Ku putuskan untuk melakukan sesuatu yang akan aku sesali nantinya, tapi ini harus ku lakukan. Aku bisa gila kalau ini terus berlanjut.
"Aku antar kau ke rumah orang tuamu, kau bisa mengemasi barang-barangmu... ," sambil menggigit bibir aku menahan dadaku yang sesak.
"... Aku akan segera menceraikanmu." Akhirnya, satu bongkahan bulat keluar dari kerongkonganku.

Gadis itu cepat mendongakkan kepalanya menatapku, "Kau serius, Park Jimin?" wajahnya tampak lebih segar sekarang. Aku melihat ke dalam bola mata coklatnya yang basah, hanya ada perasaan takut dan benci di sana selain pantulan diriku sendiri.

Aku mengangguk tidak yakin. Kini aku menyesal.

Dia langsung berdiri, "Terima kasih..."

"Aku terpaksa melakukannya, karena di pernikahan ini hanya aku yang mencintaimu!" Aku pergi melangkah menjauh meninggalkan dia bersama tatapannya yang penuh tanda tanya. Bongkahan terakhir yang menyumbat kerongkonganku akhirnya keluar. Anehnya, tidak ada perasaan lega yang aku rasakan.

Tidak ada yang tahu, bahkan aku sendiri tidak menyadari kalau perasaan tak terkendali itu muncul dan mulai menggerogotiku perlahan. Kini aku sudah habis.

Aku menyerah.

~END~

Malang, Sept 16, 2018

Bangtan Short Story (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang