#KSJ
Aku menahan tangisku sekuat yang aku mampu. Tidak bisa. Semakin aku meredam suaraku ke dalam selimut, semakin keras isakanku. Dadaku kian sesak tak tertahankan.
Saat-saat seperti inilah yang membuatku tergoda untuk kembali membuka hati untuk lawan jenis mendekatiku. Mau dilihat dari aspek manapun, aku tahu diriku sendiri butuh orang lain untuk berada di sampingku. Aku mengakui kalau aku kesepian dan tanpa tumpuan. Tapi jika aku mengingat ketakutanku, aku akan segera berhenti menginginkannya lagi.
Kim Seokjin, pria itu... temanku. Teman dekatku di kantor. Bagiku, dia sudah lebih dari sekedar teman biasa. Aku menyukainya, sangat. Tapi selalu aku katakan pada semua orang kalau hubungan kami tidak lebih dari sekedar kakak laki-laki dan adik perempuannya.
Hingga sore tadi, selepas pulang kantor, Seokjin memintaku untuk percaya padanya. Percaya tentang perasaannya padaku.
Aku senang. Bohong kalau aku tidak senang. Sialnya, aku justru mengatakan sebaliknya dari hatiku.
"Maafkan aku, bagiku, kamu sudah seperti kakakku sendiri, Oppa!" Aku bernafas pendek-pendek, menahan emosiku sendiri. Percayalah, daripada Seokjin, akulah pihak yang jauh lebih sakit.
"Jujur padaku, kamu juga menyukaiku, kan?" Tanyanya masih menatapku. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kiriku. Aku diam. Ku putuskan untuk melihat dalam ke mata coklatnya.
Aku menyukaimu, Oppa!
"Tidak, aku tidak punya perasaan apapun padamu." Kalimat itu meluncur mulus dari mulutku.
Adegan ini benar-benar sampah, aku tahu dia menyukaiku. Begitupun sebaliknya, dia juga tahu kalau aku menyukainya. Hanya saja dia tidak tahu ketakutan terbesarku, adalah alasan utamaku menolaknya.
Tarik ulur perasaan seperti ini, membuatku muak dengan diriku sendiri.
Tidak ada balasan apapun darinya, aku bisa mendengar hembusan nafasnya pelan namun tertahan, "Kamu pasti kecapaian setelah bekerja seharian." Ucapnya lembut sambil membelai rambut panjangku. Ia tersenyum.
Jangan. Jangan tersenyum begitu. Aku tidak akan kuat.
"Aku antar pulang, biar kamu juga bisa cepat istirahat!" lanjutnya kemudian melajukan mobilnya.
Aku hampir kehabisan nafas kalau tidak segera membalik badanku menatap atap kamar apartemenku yang polos. Hidungku mampet rasanya tidak bisa bernafas lega.
Aku tidak punya keberanian untuk membalas pesan Seokjin yang sudah berkali-kali masuk ke ponselku.
Pikiranku melayang ke beberapa kejadian semasa hidupku. Kejadian yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Bayangan kegagalan dan kepahitan dalam pernikahan yang dialami oleh orang-orang di sekitarku, tanpa aku sadari sudah tertanam jauh di dalam ingatanku.
Aku melihat bagaimana airmata-airmata itu tumpah ruah, teriakan-teriakan perkelahian sepasang suami istri yang membungkam logikaku, dan masih banyak lagi hal-hal yang membuatku memutuskan untuk hidup seorang diri adalah yang terbaik.
Ya, kejadian-kejadian itu membuatku takut menikah, bahkan takut untuk menjalin hubungan dengan pria manapun lebih dari teman.
Aku terbelenggu oleh pemikiranku sendiri, dan aku tersiksa karenanya.
Luka fisik dan batin yang tertinggal dalam perselisihan itu juga ikut tertinggal dalam benakku.
Aku menegakkan badanku, meraih ponsel yang dari tadi terus berdenting. Aku menghapus airmataku cepat, secepat jari-jariku mengetikkan pesan balasan.
'Oppa, aku sangat menyukaimu. Tapi aku tidak bisa menjalin hubungan lebih dari teman. Maafkan aku...'
Rasa menyengat menjalari hatiku. Ada rasa sesal yang terselip di antara keseluruhan rasa takutku yang sudah tertumpuk besar. Sekali lagi aku menghembuskan nafas berat dari mulutku, aku harus melepaskan laki-laki itu.
Aku masih ingat kata-kata ibuku, 'jadi wanita harus kuat'. Kalimat itulah yang sudah mensugesti alam bawah sadarku untuk selalu menahan tangisku dan berhenti menggantungkan diri pada orang lain.
Aku ingin menjadi wanita yang kuat, seperti yang ibuku mau.
Tapi mulai aku sadari, hal itu jugalah yang merusakku perlahan. Aku jadi sangat mudah hancur. Tak peduli seberapa kokoh aku membangun benteng pertahananku.
Menyakitkan kalau harus menangis seorang diri.
~END~
Malang, Sept 24, 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangtan Short Story (✔)
Fanfiction- BTS Short Stories - Hidup seperti seloyang pizza utuh. Kau harus memotongnya agar bisa menikmati setiap toppingnya. Kalau tertawa denganmu ibarat saus bolognese, maka mencintaimu adalah keju mozarela yang tidak pernah putus selagi masih panas. Pot...