0.08

118 16 0
                                    


Apa gunanya menyesal sekarang?

Aku sudah menyia-nyiakan apa yang yang sempat menjadi hakku. Kalau sekarang aku kehilangannya, itu pantas bagiku.


#JJK  

🍁🍁🍁



"Sudah cukup minumnya, ayo pulang!" Jungkook mencengkeram erat pergelangan tanganku.

Aku menatapnya gerah, kenapa dia tidak melakukan urusannya sendiri, sih?

"Kenapa kau selalu menggangguku, Jeon?"

Pria muda berlensa kontak biru ini menghela nafas kasar, aku bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya menyapa kulit wajahku karena jarak kita yang terlalu intim.

"Baiklah, kita pulang!" Kataku. Aku bukannya menyerah, hanya saja aku tidak akan sanggup meladeni perang dingin teman lelakiku ini kalau dia sudah merajuk.

Aku berjalan terseok menuju parkiran. Beberapa kali Jungkook coba meraih tubuhku tapi aku menepisnya.

"Aku tidak semabuk itu sampai membutuhkan bantuanmu, Jeon!" kataku sambil cekikikan. Kalau aku ingat lagi, tidak ada satupun yang lucu.

Satu hal yang tidak pernah berubah sejak pertama kali aku mengenalnya, kita sama-sama suka berkeliling tengah malam dengan jendela mobil terbuka lebar. Bagiku, angin malam hari adalah kepuasan tersendiri. Membiarkan angin malam menerbangkan beban kita, walaupun hanya sesaat. 

Mungkin begitu juga bagi Jungkook karena setiap kali aku mencuri pandang ke arahnya, dia tampak menikmati setiap hembusan angin yang membuat rambutnya berantakan. Dia tersenyum, senyum yang tidak akan pernah bisa kau dapatkan pada pria manapun.

Oh, dia terlalu indah untuk digambarkan dengan kata-kata.


  🍁🍁🍁  

Kepulan asap keluar dari celah bibirku, rasa nikotin dan tembakau masih sama. Yang berbeda adalah aku.

  🍁🍁🍁  


"Kapan kau berhenti merokok? Katamu akan berhenti secepatnya?" Jungkook mulai lagi. Bibirnya akan terus cemberut ketika mendapatiku menghisap dalam-dalam rokokku.

"Minggu depan, ya? Aku janji!"

"Dari bulan lalu, dan bulan lalunya lagi, juga kau mengatakan minggu depan. Jadi kapan sebenarnya minggu depan itu?"

"Jeon..."

"Baiklah. Aku hanya mengingatkan."

Aku adalah gadis yang tidak tertolong jauh sebelum aku bertemu Jungkook. Pertemuan pertama kami pada saat pesta penyambutan mahasiswa baru di kampus. Semua orang tampak menikmati acara. Hanya aku yang duduk di tepi kolam renang tanpa melakukan apapun. Hingga seseorang menabrakku dan aku sukses masuk kolam. Dangkal, tapi tetap saja aku basah kuyup dan sialnya, itu dingin.

Seorang dari mahasiswa baru mengulurkan tangannya menarikku keluar dari air. Dia melepaskan jaketnya dan melingkupi tubuh basahku tanpa berbicara apapun.

Kedua matanya bahkan tidak menatapku.

"Terima kasih!" Kataku di sela-sela kesibukannya yang sedang mengancingkan jaketnya di badanku.

"Ti-tidak apa-apa." Katanya terbata. Aku tidak tahu apa yang dia gumamkan tapi aku bisa melihat ujung bibirnya tertarik.

"Kau menertawaiku?" Tanyaku tegas.

"Ah, tidak." matanya membulat menatapku kaget.

"Mana berani aku menertawakan senior?" kali ini wajahnya terangkat dan pandangan mata kami bertemu.

"Kalau begitu, kenapa kamu tertawa?"

Dia diam. Sepertinya dia tengah berdebat dangan akal sehatnya.

"Kau manis!"

Sejak saat itu Jeon Jungkook selalu mengekor kemanapun aku pergi, menyesuaikan semua kelasnya sama seperti kelas yang aku ambil, bahkan dia menempati kamar asrama tepat di sebelah kamarku,

Setengah tidak ikhlas aku membuang rokokku dan menginjaknya hingga tidak ada nyala merah di ujungnya. Kepalaku mendongak dan meniupkan asap tebal hirupan terakhirku. Ujung mataku menangkap sosok Jungkook yang tersenyum lebar mendapati rokokku sudah lepas dari tanganku.

Mataku menangkap wujud bulan yang bulat sempurna.

"Jeon, lihat bulannya, deh!" Kataku sambil menarik ujung kaosnya.

"Purnama."

Aku mengangguk.

"Menyenangkan bisa melihat bulan bersamamu." Kataku.

"Kenapa?"

"Entahlah. Suatu saat kalau kamu meninggalkanku, aku akan mengikuti arah bulan untuk menemukanmu!"

"Kenapa juga aku harus menunggalkanmu? Itu tidak akan terjadi!"


  🍁🍁🍁  


'Omong kosong. Kau meninggalkanku, Jeon!' 

Sambil menatap bulan yang bulat sempurna malam ini, aku meremas kuat-kuat undangan pernikahan di tanganku.

Kau bukan hanya pergi kembali ke negaramu, tapi kau benar-benar pergi meninggalkanku. Ya, mungkin kau sudah jengah padaku, Jeon.

Seseorang memanggilku, menyadarkan posisiku yang berdiri mematung di tepi kolam renang, tempat pertama kali aku bertemu Jungkook dan masih menatap bulan.

Aku menghampiri si empunya suara yang memanggilku.

"Are you okay?" Suaranya dalam dan sedikit serak karena dia tengah berdiri di dekat pemanggang daging.

"Tidak apa." Jawabku asal sambil melemparkan bola kertas yang sudah aku remas-remas ke dalam pemanggang.

"Hei, apa itu?" teriaknya panik. Mungkin dia khawatir aku melemparkan rokokku ke sana.

"Aku rasa arangnya kurang, jadi aku tambahkan sesuatu yang pantas dibakar!" Aku berdiri di sampingnya dan mulai ikut memanggang beberapa potong daging.

Tanpa aku sadari, pria yang berdiri di sampingku sudah pindah ke belakangku. Selanjutnya aku bisa merasakan tangannya melingkar di depan perutku, hembusan nafas kecil menyapu permukaan kulit leherku. 

"Please, Namjoon!" Tanpa bergerak sedikitpun aku menegaskan ketidaksetujuanku pada tindakannya. 

"Ok, fine!" tidak butuh waktu lama hingga kedua tangannya melepaskanku. Aku berjalan menjauh dan tidak lagi menoleh walaupun dia berkali-kali berteriak memanggil namaku.

Kalau sebelum ada Jungkook, tanpa berpikir dua kali aku akan dengan senang hati menerima bahkan membalas ketika teman-teman lelakiku menyentuhku, kini aku sudah enggan bahkan selalu menghindari tangan-tangan yang pernah bersinggungan denganku.

Mungkin memang aku tidak lagi tertolong, tapi hanya dia yang bisa memperbaiki aku.

Jeon, hanya kamu yang selalu bisa membawaku kembali!

Sebenarnya, Jungkook bukan hanya memperbaiki diriku, tapi dia juga menyetel ulang semua sistem di dalam kepala dan tubuhku.

Tanpa sempat aku sadari, aku hanya akan bereaksi pada Jungkook dan kini aku bagai mesin mati tanpanya.


~ END ~


Inspired by: Only You - Little Mix


Kediri, November 9, 2018

Bangtan Short Story (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang