0.06

134 20 4
                                    

#KNJ

Suara bel terus berdering karena aku menekannya tanpa jeda. Derap langkah kaki terdengar tergesa dari dalam. Tidak perlu menunggu terlalu lama hingga pintu itu terbuka. Seorang pria dengan ekspresi kesal langsung berubah menjadi panik ketika menemukanku dengan wajah tertunduk. Bulir-bulir air mata sudah menumpuk di ujung daguku.

"Kamu kenapa?" Ia bertanya dengan suara berat ketika aku memaksa masuk ke dalam dengan air mata yang sudah tumpah. Pria ini tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir.

"Oppa ..." racauku. Bahuku bergetar naik turun. Aku menangis tertahan sambil menatapnya sayu.

"Iya, katakan! Kamu kenapa?" pria itu mendekatiku setelah memastikan pintu apartemen sudah tertutup. Aku melangkah mundur membuat jarak kembali di antara kami.

Keningnya berkerut. Aku yakin di benaknya kini penuh tanda tanya tentangku. Sengaja aku mengalihkan pandangan pada meja di depan tv, beberapa kaleng bir kosong tergeletak.

"Namjoon-Oppa!" aku memanggil namanya. Kali ini aku membiarkan kekasihku ini mendekat. Aku bahkan tidak sempat menepis kedua lengan yang merengkuhku ke dalam pelukannya. Tangisku makin pecah. Seharusnya ia membiarkanku menahan air mataku dalam diam seperti tadi.

Aku benci elusan lembut tangannya di belakang kepalaku karena menambah sesak dadaku. Aku tidak lagi kuat mentolerir perasaan aman saat berada di dalam kekuasaannya.

Aku bisa merasakan pelukan ini merenggang ketika tangisku mereda. Kedua telapak tangan besar Namjoon menangkup pipiku menghadapkan pandangan kami. Kepalaku harus mendongak untuk bisa menatapnya karena perbedaan tinggi di antara kami melampaui 20cm.

"Seharusnya kamu tidak memelukku, Oppa!" kataku setengah kesal masih sesenggukan.

"Memangnya kenapa?" Namjoon tersenyum hangat menunjukkan kedua lesung pipitnya, melegakan.

"Kau sendiri tahu, tangisku bisa makin parah kalau seseorang berusaha menenangkanku!" kataku lagi.

"Ceritakan padaku, kenapa kamu sudah kacau sepagi ini?"

Bibirku kelu, aku tidak menjawab pertanyaan itu. Pikiranku melayang, mencari penyebab mengapa aku repot-repot mengemudikan mobil sendiri ke apartemen Namjoon pada pukul 02.00 dini hari, dengan jarak tempuh 25 menit. Aku terdiam, tidak menemukan apapun.

Kepalaku menggeleng skeptis.

Wajahnya berubah, "Sekarang tanggal berapa, ya?" Namjoon merogoh saku celana mengambil ponsel dengan sebelah tangan yang masih berada di bahuku.

"Aah, begitu ..." katanya kemudian. Tawa geli terdengar pelan seiring dengan kedua lengan kembali menarikku ke dalam pelukan. Pelukan kali ini lebih erat dan hangat. Masih tidak mengerti kenapa dia tertawa padahal aku masih sesenggukan, aku membalas memeluk. Sepertinya berlindung di depan dada bidangnya adalah pilihan paling bijak saat ini.

Namjoon menggoyang-goyangkan badan, hingga terlihat kita berdua sedang berdansa,

"... minggu depan jadwal menstruasimu." katanya sangat pelan hingga aku hanya mendengarnya samar-samar di sela-sela tawa kecilnya.

~ END ~

Surabaya, October 7, 2018

Bangtan Short Story (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang