01

4.4K 413 67
                                    

"Di balik tulisan yang terangkai, ada rahasia yang tersimpan. Rahasia tentangmu, tentangku, tentang kita."

------------------------------------------------------------------------------------

Satu halaman diganti dengan halaman baru. Kalimat berganti dengan deretan kalimat baru. Keseriusan tampak jelas di wajah gadis yang kini duduk di deretan bangku belakang perpus. Tak terpengaruh dengan bisik-bisik tetangga yang terdengar, seolah dunianya berhenti ketika ia membuka sebuah buku. Dia bukan pencinta buku sekali, dia hanya menyukai beberapa buku yang 'kena' dengan perasaannya.

Netra cokelatnya berkilat seperti berbicara sesuai dengan apa yang dia baca. Ada kesenduan yang terlihat, ada kemarahan yang tercipta, seolah ia merasakan dirinya sebagai tokoh yang ada dalam cerita.

Ia berhenti membaca, bulu matanya turun sesuai dengan kedipan yang terjadi. Wina tersenyum kecil, sebelum menarik buku dan pulpen yang sudah lama menjadi pasangannya. Ia menyusupkan pena di sela jemarinya, mulai menuliskan sesuatu dalam buku itu lagi.

"Lagi dan lagi, ketika aku membaca setiap baris tulis, setiap kali aku membayangkan setiap kejadian. Mata kopimu selalu terselip di sana, entah menjadi mata yang dimiliki tokoh atau sekedar pantulan dari gelapnya kopi. Kita......"

Wina terus menulis kalimat perkalimat, mengeluarkan segenap perasaan dan kebingungan yang terangkai erat dalam kepalanya. Ia tersenyum, menertawakan dirinya. Bagaimana bodohnya dia yang selalu menyisipkan mata kopi itu ke dalam khayalannya.

Mata kopimu, terus tertanam dalam ingatan,

Terpenjara dalam jeratan akar ingatan.

Kita tak pernah saling mengenal sebelumnya,

Kita hanya pernah saling bersinggungan.

Seperti dua garis asing yang menemukan titik temu.

Tapi,

Mengapa aku sering kali memikirkanmu?

Padahal aku dan kamu hanya sekali bertemu.

Wina menekan penanya cukup kuat ketika membubuhkan titik. Lagi-lagi ia tersenyum sebelum akhirnya menutup buku itu. Sering kali dia menulis sesuatu yang ketika dia baca sendiri melahirkan rasa geli. Dia tahu tulisannya tidak bagus, hanya saja ketika dia memikirkannya rasanya dia ingin bertanya kenapa dia menuliskan kalimat semacam ini?

"Eh, gimana? Lo udah kelar belum tugas dari Pak Hasan?"

"Udah, kenapa?"

"Gue minta ya? Kan kita temen."

"Lo ngapain sih seminggu ini? Mojok?"

"Elah bukan mojok, tapi pacaran. Lo tahu kan gue nggak ngerti. Minta ya? Lo sohib gue paling baik deh."

"Kerjain dulu coba."

"Elah pelit amat lo."

Wina menarik pandangannya dari buku ke arah dua orang yang berada di depannya. Tidak terlihat jelas karena mereka dipisahkan sekat yang tebal. Tidak merasa aneh memang kalau dia memikirkan itu. Kadang dia merasa jengkel ketika ada orang yang meminta jawaban padanya. Dan ketika dia tidak mau memberikannya, selalu kata pelit, tidak setia kawanlah, atau apalah yang membuat dia merasa sedikit sakit hati.

Emangnya mereka tahu kalau dia pelit? Padahal yang dia ingin bilang, usaha dulu. Kalau pun nanti mereka tidak bisa kan dia bisa bantu.

Layar ponselnya menyala, menampilkan pop up dari Laksya.

MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang