12

928 132 12
                                    

"Tak apa-apa mendengarkan pendapat orang lain sebanyak apa pun yang kau mau, tapi kau harus ingat, yang menentukan jalan kehidupanmu adalah dirimu sendiri."

"Lo pikir, tuh cowok mau ngomong apa sama Thama?"

"Mana gue tahu, tapi sepertinya serius. Lo kenal?"

"Boro-boro kenal. Ngelihat mukanya aja gue enggak pernah."

"Thama kali yang kenal."

"Elah, kalau Thama kenal, pasti gue kenal."

"Emang lo siapa?"

"Pasangan hidup dan matinya?"

Bimo, Dito, Satria bahkan Kenan, langsung menoyor kepala Azhwan hingga laki-laki itu tersungkur ke bawah. Merasa geli dan jijik dengan perkataan Azhwan. Lalu kembali memperhatikan dua orang yang kini saling berhadapan, masih dengan keterdiaman.

Sudah beberapa menit berlalu, namun Thama dan orang yang di depannya itu tidak bersuara. Hanya mata mereka yang bergerak, seolah-seolah sedang mengamati lawan bicara, dan mempersiapkan langkah yang tepat untuk melawan.

"Lo mau ngomong apa sama gue?" Thama tahu orang yang ada di hadapannya ini. Laksya. Laki-laki yang pertama kali dia lihat ketika bertemu dengan Wina, dan orang yang membuat Wina menjauhinya sekarang. Dia tidak tahu alasan yang pasti, namun di kepala Thama ada satu alasan; laki-laki itu cemburu dengan kedekatan dia dan Wina.

"Jauhin Wina."

Sejenak Thama kaget, sebelum terekekeh pelan. Seolah-olah, Laksya tengah melucu. Ia menyugar rambutnya. "Memangnya lo siapa, nyuruh gue jauhin Wina?" tanyanya dengan suaranya yang renyah, tak peduli dengan reaksi orang dihadapannya. Thama tahu kalau laki-laki itu serius, dan tentunya dia juga serius. Dari informasi yang dia dapat, Laksya hanyalah seorang sahabat Wina, tidak lebih.

Laksya tersenyum sinis. "Gue Laksya, sahabat Wina. Kalau lo lupa, gue udah pernah ketemu lo sekali." Seharusnya dia menyodorkan tangannya, bersikap sopan seperti yang biasa dia lakukan. Tapi, untuk kali ini dia akan mengabaikan tata krama itu, karena Laksya tidak menyukai Thama, dan sepertinya laki-laki itu juga tidak menyukainya.

"Gue enggak lupa." Thama bersidekap. Kini senyuman geli itu menghilang sempurna dalam dirinya. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap Laksya dengan serius. Tinggi mereka hampir sama, hingga tak membuat dia harus menunduk atau mendongak. "Lo orang yang selalu ada berada dalam urusan Wina, bener kan?" Dia tidak bisa mencegah dirinya sendiri agar tidak berujar dengan sinis. Kelakuan Laksya yang menyuruh Wina untuk menjauhinya sukses membuat Thama kehilangan kendali. Untuk kesekian kalinya, dia membenci Laksya tanpa mau mengenalnya.

"Ah, lo udah kenal gue. Jadi enggak perlu gue banyak omong." Laksya menarik kedua sudut bibirnya sedikit, senyum terpaksa. Ia melangkah mendekat. Persoalan ini harus secepatnya dia selesaikan. "Seperti yang gue bilang tadi, gue mau lo jauhin Wina. Dia enggak pantes buat lo mainin."

"Lo cuman sahabatnya, bukan pacar atau suaminya. Jadi lo enggak berhak nyuruh gue jauhin Wina. Dan lagi," Thama menajamkan matanya. Melihat Laksya saja dia sudah muak. "lo enggak tahu apa-apa tentang gue. Jadi, jangan nge-judge sembarangan."

"Nge-judge? Gue enggak nge-judge." Laksya melihat Thama dari atas sampai bawah. Lalu tersenyum merendahkan. "Tapi emang kenyataannya kayak gitu kan? Enggak ada tuh bahasan love at the first sight itu konyol. Itu cuman alasan yang lo buat-buat aja. Lo pasti cuman mau mainin dia, jadiin dia taruhan, setelah dapat apa yang lo mau, lo buang dia. Gue enggak akan biarin hal itu terjadi."

"Konyol? Apanya yang konyol? Emang kenyataannya kayak gitu. Gue emang suka sama dia, dan lo enggak tahu apa-apa tentang gue. " Thama menjentikkan jemarinya, saat menyadari sesuatu. "Lo suka sama Wina? Tapi, karena lo sahabatnya, enggak bisa ngungkapin itu? Iya? Pengecut."

MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang