07

1.3K 151 3
                                    

"Karena semenjak aku menyukainya, semenjak itulah dia sudah menjadi bagian hidupku."

"Gue denger lo lagi ngejer anak semester bawah, bener Tham?"

Jam sudah menunjukkan pukul 10 ketika pertanyaan itu terlontar. Orang-orang yang ada di sekitar mereka mencuri pandang. Bukan pandangan aneh ketika dua orang itu berhadapan. Bahkan bisa dibilang, sudah hal biasa di dalam kelas kalau terjadi perdebatan di antara mereka –Dito dan Thama.

Keduanya sudah seperti rival sejak semester bawah. Banyak gosip yang beredar mengenai perselisihan mereka berdua. Ada yang mengatakan bahwa itu semua karena perebutan nilai di salah satu mata kuliah, ada yang bilang kalau semua itu karena mereka berebut wanita. Dan ada yang bilang salah satu mereka iri satu sama lain, dan masih beberapa lagi.

Tidak ada sahutan oleh lawan bicara. Thama seolah tak mendengar perkataan Dito dan tetap melakukan apa yang dia kerjakan: membaca sebuah buku puisi. Baginya mendengar ocehan orang satu itu, sama saja mencium bahu sampah yang berserakan di jalan.

Di hadapan Thama, Dito berdecih. Sepertinya laki-laki itu kesal karena tidak didengarkan. Dengan sengaja ia menendang kursi Thama yang berhasil membuat Thama mendongak.

Bibir Thama membentuk garis lurus, sorot matanya tentu bukan sorot mata bersahabat; lurus dan dingin. Ia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa detik, sebelum seulas senyum miring muncul samar di wajahnya, tanpa mengucapkan apa pun.

Ada alasan kenapa dia melakukan itu. Thama hanya tidak mau Dito tahu tentang dia dan Wina. Tak masalah sebenarnya untuk dirinya sendiri, tapi kalau berkaitan dengan Wina, itu hal yang berbeda. Dia tidak akan mau gadis itu kenapa-napa. Mengingat peringai Dito yang sebajingan itu.

Secara tiba-tiba Thama bangkit, membuat keduanya sejajar. Tampak ekspresi yang berbeda di antara keduanya.

"Kenapa? Kaget lo gue tahu?" Dito menyeringai.

Masih dengan tak acuhnya Thama menyambar tas dan buku miliknya sendiri. Berurusan dengan Dito hanya buang-buang waktu dan tenaga, enggak penting. Sayangnya ketika dia sudah hampir melalui Dito, ketenangan Thama langsung lenyap.

"Kayaknya dia berarti banget buat lo. Gimana kalau gue jadiin dia mainan gue."

Thama langsung menyambar kerah kemeja Dito. Tatapan marah terlihat jelas dari mata Thama.

"Jangan berani lo sentuh dia, sialan," desis Thama dengan semakin mencengkram kerah Dito.

Sepertiny Thama sudah memberikan jawaban yang diinginkan oleh Dito sehingga laki-laki itu menyeringai. Dengan dua kali hentakkan cengkraman itu terlepas. "Semakin lo larang gue, semakin gue mau mempermainkan dia."

"Sampai lo berani nyentuh dia, gue bakal hajar lo habis-habisan."

Dito bersiul seolah itu yang ditunggu.

Dengan tatapan membara Thama memandang Dito, tak segan untuk melayangkan tinjunya pada laki-laki brengsek itu. Tangannya bahkan sudah mengepal, hanya tinggal tunggu waktu saja.

"Gue udah lama enggak lihat lo seemosi ini. Dan sayangnya gue enggak suka kalau melewatkan kesempatan buat lo emosi."

"Brengsek!" Thama maju, tangannya terangkat diudara dengan luapan emosi.

Semua orang yang melihat mereka terpekik, ada yang menahan napas, menutup mulutnya atau memeluk temannya yang ada di samping. Sayangnya pukulan yang seharusnya terjadi tidak terjadi.

MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang