06

1.6K 186 17
                                    

"Kau tahu, ada satu keinginan yang kadang membuatku merasa gila karena tidak bisa mengatakannya; aku ingin bertemu denganmu lagi."

"Harus banget gitu satu buku ini kita kerjain semua? Dalam satu minggu? Gila, yakali cuman satu transaksi. Dikira mata kuliah, cuman ini doang yang punya tugas." Aurora menghentakkan buku bersampul biru itu cukup keras ke lantai, bentuk protesan.

Wina mendongakkan kepalanya, menatap Aurora yang tengah kesal. Bukan untuk kali pertamanya dia mendengar kalimat ini -di hari yang sama- sudah beberapa kali. Alasan kenapa gadis itu terlalu kesal karena mereka harus mengerjakan latihan-latihan dalam buku Praktikum Pajak yang tengah terbuka lebar, dengan batas waktu satu minggu.

Buku yang menjadi bahan kekesalan Aurora: "Praktikum PPh Pribadi dan Badan". Mereka harus mengisi satu per satu kolom, yang dimana saling berhubungan satu sama lain. dan ya, memang itu memerlukan ketelitian luar biasa. Salah satu saja angka, bisa mempengaruhi jumlah semuanya, seimbang atau tidaknya transaksi. Dan bisa pastikan bahwa jam tidur mereka akan dipangkas, sebanyak-banyaknya.

"Mau gimana, anggap aja sebagai latihan. Mau protes juga enggak bisa kan?"

Aurora mengerucutkan bibirnya, sebelum mengangguk. Ia mengacak rambutnya. "Iya sih," dia mempebaiki kedua kakinya yang ditekuk menjadi lurus. "untungnya ASP enggak ada disuruh nyari SKPD seperti semester kemarin pas nyari DPA. Gila, udah dapat kelompok nguras emosi, ngurus surat kampus buat dikasih Dinasnya aja lama, terus dikasih nilah C. Gila enggak tuh."

Memang, semester lalu, mereka harus mempunyai energi tinggi. Waktu malam mereka harus dijadikan sebagai waktu bekerja, lembur dengan rentetan transaksi, membuat beberapa jurnal yang sudah ditentukan oleh Dosen. Waktu itu hampir semua orang mengeluh dan tentu membicarakan Dosen mereka yang killer, seolah tidak mempunyai hati nurani. Karenanya juga banyak mahasiswa yang rajin masuk kuliah, harus bolos mata kuliah lain hanya untuk menyelesaikan tugas itu.

Jadi mahasiswa itu berat.

Wina menghela napas, mengingat itu rasanya dia ingin tidur panjang. Apalagi mengingat kalau mereka pernah mengeprint beberapa peraturan- Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjen Pajak, Peraturan Pemerintah (PP)- yang harus diprint sebanyak-banyaknya. Yang hasilnya dibawa pulang kembali.

Ia mengalihkan pandangannya dari Aurora dan jatuh pada ponselnya. Sejenak dia ragu apakah harus memegangnya atau tidak. Memeriksa sesuatu yang menjadi gangguan dalam pikirannya beberapa jam belakangan ini. Beruntung karena angka, dia bisa melupakan hal itu sementara. Dan sekarang, dia tidak yakin bisa menghalaunya.

Seperti ada dorongan kecil, Wina menggerakan tanganya menyentuh ponselnya.

Sekali ini saja, dia ingin memastikan bahwa ada chat seseorang di sana.

Wina bisa merasakan debaran jantungnya menguat, hanya ketika menyentuh layar ponselnya. Dia seperti sedang akan menghadapi ujian; gugup, tidak fokus. Keringat mulai menyelimuti telapak tangannya dan ketika tangannya mengetuk layarnya dua kali, rasa kecewa langsung menyergapnya. Tidak ada sama sekali chat dan sms di sana.

Apa laki-laki itu cuman main-main aja?

Memangnya kamu ngarepin apa, Win? Dia cuman main-main aja, kayak yang lain. Udahlah, enggak usah ngarep.

Atau dia enggak ada pulsa? Atau nomernya ke hapus, makanya dia enggak ngehubungin?

Dua suara itu terus menerus berincang keras dalam kepalanya. Saling berebut untuk didengarkan. "Berisik!" Wina mendongak. "Kaget aku. Kamu ngapain di sini?" tanyanya dengan nada sedikit tinggi, kedua tangannya reflek memegang dada.

MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang