04

2.2K 227 27
                                    

"Cinta kadang selucu itu, dia datang pada dua orang yang tidak pernah saling mengenal, tapi menjauh pada mereka yang sudah menghabiskan waktu lama."

"Nama panggilannya Wina, lengkapnya Ashwina Drisana...."

Thama semakin mencondongkan tubuhnya, menumpukkan lengannya pada kedua paha yang berpijak kokoh di lantai. Kedua netranya bergerak pelan, menyusuri setiap kalimat yang ditulis rapi. Guratan-guratan pena yang begitu rapi menandakan kalimat itu ditulis dengan hati-hati. Ia terus membaca, mengabaikan setiap suara yang tercipta yang menggema disepanjang koridor kampus.

Hanya butuh sehari dan sahabat gilanya itu berhasil mendapatkan informasi yang cukup –meski sejujurnya Thama menginginkan lebih. Memang tidak salah dia menyuruh Azhwan untuk mencari informasi. Laki-laki itu selalu mempunyai cara untuk mencari informasi, yang sialnya sampai saat ini nyaris selalu berhasil.

Bibir Thama menyunggingkan senyuman ketika membaca ciri-ciri Wina. Benar, gadis itu memiliki rambut hitam sama seperti yang lainnya. Mata cokelatnya, hal yang selalu laki-laki itu ingat, begitu tenang dan nyaris membuatnya candu. Senyumannya melebar, jemarinya mengusap lembut buku yang terbuka ditangannya ketika dia membaca informasi selanjutnya; gampang panik.

"Ah pantes, dia natap gue kayak gitu banget." Thama bergumam cukup pelan sembari berpikir mengenai kejadian yang lalu. Ia menempelkan pundaknya pada kursi dan sedikit merosot. Diangkatnya tinggi-tinggi buku itu hingga menutupi wajahnya. Ketakutan yang dia lihat di kedua mata gadis itu akhirnya ia mengerti. "Kayaknya gue bakal susah deketin dia," lanjutnya. Mengingat kemarin saja dia ingin berjabat tangan tapi tidak dipedulikan.

Jadi, bagaimana di harus mendekatinya? Haruskah dia melakukannya secara langsung? Atau perlahan?

Tapi kalau perlahan....

Buku yang berada di genggaman Thama terangkat, menarik tatapan Thama untuk mengikutinya. Di depannya Azhwan berdiri dengan seringaian menyebalkan yang tak lama digantikan dengan siulan kecil.

"Serius amat, Bang."

"Balikin." Thama mengatakannya nada rendah. Tubuhnya menegak, masih dalam posisi duduk. Dia sedang malas berhadapan dengan Azhwan yang kadang kala begitu cerewet.

"Gue ingetin lo. Ini buku gue," kata Azhwan sambil menggoyangkan bukunya. "Udah berapa kali lo buka buku ini?" Terlihat jelas kala laki-laki itu tengah menggoda

Thama mendengus, dia menendang kaki Azhwan tanpa bersalah hingga sahabatnya itu membungkuk sambil meringis. Melihat kesempatan itu dia langsung menyambar buku kecil yang sempat dia pegang. "Mau berapa kali gue baca, itu bukan urusan lo."

"Bisa nggak sih lo baikan dikit sama gue." Azhwan menggerakan sedikit kakinya. Terlihat kekesalan ketika Azhwan menatap Thama. "Gini-gini gue yang cari info tentang Wina." Dia menjatuhkan tubuhnya di samping Thama ketika orang yang tidak dia kenal bangkit.

Protesan Azhwan tidak dipedulikan oleh Thama, terbukti sekarang laki-laki itu kembali hanyut dalam informasi yang ada. Kepalanya sudah cukup penuh memikirkan cara mendekat pada Wina, dan tidak mau semakin penuh mendengar protesan laki-laki cerewet itu. Merasa mendapatkan jalan buntu, dia menoleh ke arah Azhwan yang sedang menggerakan bibirnya.

Sejujurnya, Thama ingin melakban bibir laki-laki itu. Agar tidak mengoceh setiap waktu. Ya, suatu saat nanti mungkin dia akan melakukannnya.

"Wan."

"Ehm?" Azhwan menoleh dengan malas. Dia tahu kalau namanya dipanggil berarti ada sesuatu yang mengganggu pikiran sahabatnya. "Apa?"

MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang