10

1K 139 5
                                    

Jangan lupa dukungannya ya :)

Thama mengerjapkan matanya berulang kali. Canggung. Itulah yang dirasakan oleh Thama saat ini. Lebih tepatnya, canggung disertai dengan ketidakpercayaan, dan rasa bahwa di mata Wina saat ini, harga dirinya sudah tidak ada, dan semua itu gara-gara Azhwan. Kalau saja laki-laki itu tidak suka menggombal ketika ada dirinya, bisa dipastikan, dia tidak akan menggombal seperti tadi. Sepertinya nanti, dia akan memberi pelajaran pada sahabatnya itu.

"Enggak kok." Thama tersenyum. Dia mencoba untuk tenang. "Gue enggak playboy. Pacar aja enggak punya. Berapa Mbak?" Thama merogoh sakunya dan mengambil dompet dari sana ketika menyadari pesanan mereka sudah selesai.

"Eh, punyaku kubayar sendiri, Kak."

"Lo pergi sama gue, berarti gue yang bayarin." Thama tersenyum kecil sembari mengucapkan kata terima kasih. Ia memberikan milik Wina dan menggoyangkannya ketika hanya ditatap ragu oleh gadis itu. "Ambil."

"Tapi, aku enggak enak."

"Apa sih, enggak enak-enak. Banyak yang ngatri lho." Thama mengendikkan dagunya ke arah belakang mereka.

Wina menghela napas, lalu mengambilnya dengan terpaksa. "Makasih."

"Sama-sama."

"Gue boleh tahu hobby lo?" tanya Thama ketika keduanya sudah berjalan. Dia harus cepat mencari pembicaraan. Siapa tahu bisa membuat image-nya di Wina berubah. Playboy. Ingin sekali dia melaknat panggilan itu!

Ia mengaduk-aduk ice cream di tangannya dengan pelan, pandangannya mengintip kecil ke arah Wina. Gadis itu tidak juga bersuara, seolah-olah membiarkan suara derap langkah mereka yang bersatu dengan milik orang lain, percakapan-percakapan kecil yang mengudara menjadi teman mereka. Bibirnya terbuka kecil, tapi tertutup lagi.

Thama memalingkan muka, menatap jalan. Sepertinya benar, reputasinya sudah hancur karena gombalannya. Sejujurnya dia tidak bisa menghentikkan dirinya untuk tidak berkata seperti itu. Karena itu yang memang dia rasakan.

"Hah," Thama mendesah kecil, sembari memasukan ice cream miliknya ke dalam mulut. Sensasi dingin langsung terasa di lidahnya, bercampur dengan rasa cokelat, membuatnya mengecap berulang kali. Memang, dia memilih untuk memesan rasa yang sama. Anggap saja modus terselubung.

Wina, gadis itu sangat membuatnya bingung. Kadang, dia merasa gadis itu tidak mau dengannya, tepatnya terpaksa melakukan interaksi dengannya. Dan kadang lagi, dia merasa begitu biasa saja. Jadi, Thama bingung harus melakukan apa. Bukannya dia sudah pasrah. Kalau dia pasrah dan menyerah, mungkin dia tidak akan ada di sini sekarang.

"Kak, sebenarnya alasan Kak Thama deketin aku apa? Bukan aku enggak percaya, omongan Kakak, cuman ... aku bingung."

Thama menghentikkan makannya, matanya membeliak ketika menoleh ke arah Wina. GAdis itu tengah menunduk. Kenapa dia malah mendapatkan pertanyaan ini. Ia menarik napas dalam –menenangkan diri- dan menghembuskannya pelan.

"Apa yang lo bingungin dari gue, sampai lo nanya itu? Lo masih enggak percaya sama gue?" Dia bisa mendengar suaranya sendiri yang serius.

Gadis itu bergerak-gerak kecil, gelisah. Kepalanya terus menerus terarah ke segala arah, kecuali ke arah Thama. Thama mengerti, tidak semua orang akan percaya dengan ucapan seseorang yang tidak cukup lama mereka kenal. Masalahnya, pertanyaan ini sudah berapa kali dia dengar, apa gadis itu masih tidak percaya?

"Wina?"

"Aku... entah kak. Aku cuman bingung dan takut."

"Takut kenapa? Sebenarnya lo kenapa? Kepaksa ke sini bareng gue?"

MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang