Chapter 8 - Distance

1.6K 89 13
                                    


Naya's POV

Aku hanya menatap jalanan yang kulalui sejak Kikan membawaku keluar dari rumah. Aku terdiam. Terlalu lelah untuk berpikir dan marah. Air mataku rasanya sudah kering. Hanya rasa benci yang ada di otakku saaat ini. Andai saja aku tidak pernah mengenal Alex. Andai saja aku tak melakukan perjanjian konyol dengannya. Andai saja aku tak menokah dengan Alex. Mungkin semua ini tidak akan terjadi.

Entah sudah berapa lama mobil melaju di jalanan. Yang kutau Kikan membawaku jauh-jauh dari Jakarta. Dan ketika aku melihat salah satu papan reklame yang ada di pinggir jalan, aku sadar kemana Kikan membawaku.

Bandung.

Kota yang menjadi tujuan Kikan untuk menjauhkanku dari Alex. Dan dari jalanan sekitar yang kulalui, akhirnya aku sadar tujuan akhir kami. Kikan membawaku ke rumah tantenya di kawasan Buah Batu. Aku ingat setahun lalu pernah kemari untuk wisata kuliner dengan Kikan.

"Mungkin ini belum cukup jauh, Nay. Tapi gue janji, sebulan lagi kita akan pergi jauh dari Jakarta,"ucap Kikan.

"Aku menoleh lemah kepada temanku itu. Tak mengerti maksud ucapannya."Maksud lo, Kan?"tanyaku pelan.

"Gue berangkat ke Oslo bulan depan, Nay. Lo inget Om Irwan dan Tante Cesil? Saudara ayah gue yang punya restauran di Oslo?"tanya Kikan.

Tentu saja aku ingat. Sekitar dua tahun yang lalu, aku pernah berkunjung ke restauran Om Irwan dan Tante Cesil di Oslo ketika berlibur bersama Kikan dan Eve.

Aku terdiam sejenak. Sedikit terkejut dengan keputusan mendadak Kikan.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"tanya Kikan padaku.

"Kenapa lo tiba-tiba ke Oslo?"

"Karena gue ingin belajar masak lebih dalam. Dan Om Irwan bisa menjadi mentor yang hebat untuk gue,"jawabnya.

"Lo ada masalah apa, Kikan?"tanyaku lagi. Aku tak yakin kepergiannya ke Oslo hanya untuk memperdalam ilmu kulinernya.

"Gue nggak ada masalah apa-apa, Nay. Gue cuma mau lebih banyak belajar, supaya skill gue makin bagus,"jawab Kikan.

Aku mendesah panjang. Pikiranku semakin kalut. Sahabatku ini pun aku tau dia tengah diterpa masalah. Lari. Itu yang akan dia lakukan. Jauh ke Oslo.

Aku kembali terisak kelu ketika tangan kiri Kikan meremas lenganku pelan. Tak lama kemudian, dia menepikan mobilnya.

"Maafin gue, Nay. Gue kali ini egois. Gue nggak bisa lagi tinggal di Jakarta. Gue nggak sanggup berada satu kota dengan Enzo. Yang ada di otak gue cuma lari ngejar dia. Dan gue tau dia nggak cinta sama gue,"rintih Kikan.

Kepalanya menunduk. Matanya tak berani menatapku. Tanpa diberitau pun, aku tau dia merasa bersalah.

"Ikut gue ke Oslo, Nay," lanjut Kikan.

Aku hanya bisa menangis mendengarnya. Andaikan aku bisa semudah itu pergi tanpa banyak pertimbangan, aku pasti akan mengikutinya. Tapi masih ada perusahaan Papa yang harus aku pertahankan. Belum lagi soal Erik. Apa yang harus kukatakan kepada Erik?

"Gue nggak bisa begitu aja pergi, Kan," ucapku pelan.

"Yes, you can! Mau jadi apa lo kalau tetap di dekat Alex?"sentak Kikan.

"Gue nggak bisa kabur selamanya, Kan. Akan tiba waktunya dimana gue harus menghadapi Alex,"kataku.

Kikan menghembuskan nafasnya panjang.  "Mau jadi apa lo kalau ngelawan Alex? Sekarang aja dia berani begini sama lo? Lo masih mau kasih kesempatan dia untuk nyakitin lo?"bentak Kikan.

TGS 1st - Silly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang