"Rea."
"Apa?"
"Kenapa, sih, kamu selalu izin ke toilet kalo lagi sama aku?"
Astaga, Kavi. Jangan tanyakan kenapa!
Berada di sampingmu, Kavi, hanya akan memacu adrenalin saja, tahu. Jantungku, akan berdebar tiga kali lebih cepat dari batas normal. Darahku, berdesir hebat seperti pasir pantai dalam gulungan ombak. Dan perutku—perutku rasanya geli sekali! Kepak sayap kupu-kupu dalam rongga perut membuatku sulit membedakan antara perasaan senang atau mau buang air besar.
Itulah sebabnya aku selalu ke toilet, hanya untuk menahan rasa mulas yang tiba-tiba menyerang. Kalau sudah di toilet, aku bahkan tak tahu mau apa dan harus melakukan apa. Jadinya, aku hanya berkaca dan merapikan kerudung tipis yang kupakai.
Huft.
"Memangnya mukaku kayak kloset, ya?"
Mendengarmu bertanya begitu, aku praktis menyemburkan tawa. Persetan dengan paras cantik, aku hanya ingin tertawa keras-keras karena kamu memang lucu, Kavi.
"Loh, kok malah ketawa?"
Keningmu berkerut samar, aku coba hentikan tawaku yang terlihat lebih seperti kudanil minta makan. Aku tak bisa menahan senyum melihat gurat kebingungan yang tercetak jelas di wajahmu.
"Nggak, kok. Mukamu nggak kayak kloset." Aku memilin bibir, berusaha sembunyikan senyum. "Cuma, ya, aku pengin aja ke toilet. Memangnya nggak boleh?"
Aku jujur, Kavi. Wajahmu itu tidak seperti kloset. Kamu itu tertampan di seantero kampus! (Hanya menurutku saja, sih. Teman-teman sekelasku menganggapmu tidak seistimewa aku dalam memandangmu.)
"Ya boleh, sih," jawabmu diiringi seringai tipis.
Aku tahu kamu kesal, kan, Kavi? Kesal karena bukannya menjawab, aku malah balik bertanya. Tapi Kavi, kalau aku menjawab pertanyaanmu dengan jujur, nanti kamu yang akan tertawa-tawa. Huh!
Tiba-tiba, ribuan kupu-kupu kembali memenuhi rongga perutku. Tuh, kan, apa kubilang! Aku harus cepat-cepat pergi dari hadapanmu sebelum sayap kecil kupu-kupu membawaku terbang terlalu tinggi, Kavi!
Segera, aku berdiri.
"Aku ke toilet dulu, ya! Titip tas!"
Belum-belum kakiku melangkah, lenganku sudah kamu tarik.
"Aku ikut."
Kavi! Jangan gila! Jantungku seperti mau lompat dari tempatnya! Lepaskan tanganku sekarang atau aku akan mencair seperti es balok yang ditaruh di atas panci panas!
"Kavi, aku cuma sebentar," gumamku pelan, menahan gemetar.
"Aku antar, Re. Aku juga sekalian mau ke toilet. Ayok," ajakmu sambil mengambil tasku, lalu menyampirkannya di bahu kanan—karena bahu kiri ada ranselmu.
Aku terdiam di tempat ketika kamu yang berdiri dan menarik lenganku. Kakiku seperti dipasung rasanya, tak sanggup berjalan!
"Re, kok diem?"
Kavi, jangan bodoh.
Aku pergi ke toilet agar bisa menerbangkan kupu-kupu dalam perutku yang muncul setiap aku sedang bersamamu! Kalau kamu ikut, kapan mereka akan menghilangnya?
Ya sudah, kamu saja yang ke toilet ya, Kavi. Aku tunggu sini.
Aku kembali duduk di bangku yang terbuat dari semen yang melingkari pohon besar. "Sana, aku nggak jadi ke toilet," kataku.
Kamu mengernyit, melepas tanganku dan kembali ikut duduk di sebelahku.
"Ya udah, aku juga nggak jadi. Aku cuma mau antar aja, sih. Duduk di sini rasanya ngebosenin kalo nggak sama kamu."
Astaga, Kavi. Kupu-kupu dalam perutku berhasil membawaku terbang ke langit kedelapan!
... tunggu, bukannya langit hanya ada tujuh?
Persetan!
Mulai sekarang, aku menciptakan langit kedelapan. Langit di mana tempatku akan tinggal ketika kupu-kupu itu kembali datang. Ketika aku berada di dekatmu, Kavi.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kavi [1/3]
Short StoryIni tentang aku dan Kavi, laki-laki pemilik debar. [Ini cerita pertama dari tiga seri Edrea dan Kavi, jangan lupa baca dua lainnya, ya! (Tapi belum diunggah, hehe)]