17:53

1.1K 143 8
                                    

"Nih, pake."

Dengan tangan gemetar, aku mengambil helm yang kamu sodorkan. Memakainya setelah menarik sedikit kerudungku yang memerosot ke depan. Lalu, diam.

"Re, ayo naik."

"Hm."

"Yeh, malah bengong."

Setelah cukup lama tak melihat pergerakanku, kamu akhirnya mematikan kembali mesin motormu dan melepas helm. Memandangku dengan gurat keheranan yang tercetak jelas di wajahmu.

"Apa, Kavi?"

"Lah? Malah nanya," gerutumu, aku tertawa. "Ayo naik, udah mau Magrib, nih."

Aku menatapmu dan motor besarmu secara bergantian. Aku ini sedang bingung, Kavi. "Aku naiknya gimana?"

"Astaga, Rea." Kamu mengusap wajah dengan cepat, "ya tinggal naik, lhoooo!"

Diam-diam aku tersenyum, kamu pasti kesal denganku kan, Kavi.

Tetapi, Kavi, tidak semudah itu.

Aku ini tengah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sekian menit ke depan. Seperti; bagaimana caraku naik ke atas motormu? Apakah aku harus memegang kedua bahumu? Lalu bagaimana dengan kondisi jantungku? Juga kupu-kupu yang ada dalam perutku? Lalu jika motormu sudah melaju, apa aku harus memelukmu dari belakang? Atau justru berpegang pada sisi motor?

Kan, Kavi. Apa kubilang. Tidak semudah itu duduk di boncengan motor besarmu.

"Aku naik ojol aja, ya, Kavi."

Lalu pada akhirnya, aku memilih alternatif lain ketimbang harus ber-deg-deg-an ria di belakangmu.

"Nggak!" sergahmu cepat sambil turun dari motormu.

"Kenapa?" tanyaku, jantungku mulai berdegup cepat. Kepalaku dipenuhi pemikiran-pemikiran penuh rasa percaya diri.

Kamu tak mau membiarkanku pulang sendiri, Kavi?

Aku terkikik geli.

"Ih? Malah ketawa! Kamu kesurupan, ya! Ini udah mau Magrib!" Kamu beringsut menjauh dariku yang semakin tertawa melihat tingkahmu.

Kamu lucu sekali, Kavi. Mana mungkin aku kesurupan. Kesurupan cintamu sih, iya. (Oke aku sedikit bergidik menuliskan bagian ini. Alay sekali aku.)

"Nggak, Kav." Kuhentikan tawaku agar kamu mendekat kembali. Setelah kamu sudah ada di depanku, aku kembali angkat suara. "Aku naik ojol aja, deh, nggak enak ngerepotin kamu."

"Apaan, sih, Rea." Kamu kembali memakai helm dan naik ke atas motor. "Udah, cepet, naik."

Aku menghela napas, pasrah. Pada akhirnya aku harus tetap pulang diantarmu dengan debar jantung yang kalau tak ada suara lalu lalang kendaraan, pasti akan terdengar nyaring.

Aku mendekat ke motormu, dan dalam sekali—hap! Aku sudah ada di atas motormu, berpegang pada sisi motor. (Sebab tak mungkin aku memelukmu, bukan?)

"Masih bingung cara naik motorku?" tanyamu sambil melirikku dari kaca spion.

Aku menyeringai, mendorong bahumu, memintamu segera melaju.

Angin petang menyapa pipiku pertama kali. Buru-buru kutilik jam di lengan kiri, pukul 17:38.

"17:38, 17:38, 17:38." Aku melafalkannya berkali-kali, mencatatnya dalam buku memori. Pada waktu ini, aku duduk di boncenganmu untuk pertama kali, Kavi.

Aku senang sekali.

"Apaan yang 17:38?" tanyamu, suaramu tertiup angin.

Aku menyembunyikan senyum di balik punggungmu, "Bukan apa-apa."

Lalu, motormu berhenti di bawah lampu merah yang menyala. Ada hening yang merambati dinding waktu sepersekian detik untuk kunikmati.

"Eh, ini jam berapa?" gumammu, lalu menarik tangan kiriku demi melihat sang waktu. Aku hanya diam, atau lebih tepatnya; terkejut. "17:53," ujarmu.

Aku menarik tanganku kembali, membuang pandang ke segala arah demi menghindari tatap matamu yang sedang menatapku dari kaca spion.

"Ingetin, ya, Re."

"Ingetin apa?"

"Jam 17:53, untuk pertama kalinya seorang Kavi duduk di atas motor berdua dengan seorang gadis, menunggu lampu merah berganti hijau."

Kav—perutku! Kupu-kupu dalam perutku sudah siap mengepakkan sayapnya! KAVI! AKU MAU KE TOILET!

ASTAGA! AKU TAK TAHU KALAU AKU GADIS PERTAMA YANG DUDUK DI BONCENGANMU!

KAVI, AKU MAU MENANGIS! MENANGIS KESENANGAN.

*****

Aku dan Kavi [1/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang