Janji Lusa

1.2K 155 1
                                    

Kavi, kamu tahu tidak?

Adikku terus menatap aneh diriku dalam balutan jaket hitam milikmu di sepanjang makan malam hari ini. Ibuku sih, tidak peduli. Toh di luar memang masih hujan. Ayahku juga tak acuh, ia hanya sempat bertanya jaket siapa yang kukenakan.

Kujawab saja, milik calon pacar!

Adikku semakin memandangku seolah aku ini calon penghuni rumah sakit jiwa. Aku hanya tertawa menanggapinya, sambil sesekali mengambil lauk di atas piringnya sampai ia bersungut-sungut. Dasar, bocah! Belum saja ia merasakan jatuh cinta.

Aku berebah di atas tempat tidur setelah melepas jaket hitam milikmu dan mendekapnya. Sesekali kuhirup sisa-sisa aroma parfummu yang menempel di bagian dalam jaket. Ah, rasanya seperti aku tengah didekapmu, Kavi.

Lalu, instrumen lagu You Belong To Me milik Air Supply terputar begitu saja di ponselku. Menandakan sebuah panggilan masuk. Dengan semangat, aku langsung beringsut dan meraih ponselku di atas nakas. (Kavi, aku menggunakan lagu ini khusus sebagai nada dering ponsel darimu saja. Makanya aku semangat sekali menerima panggilan darimu.)

"Halo!" sapaku kelewat senang.

"Astaga, Rea."

Aku terkikik dalam hati, pasti kamu terkejut dan menjauhkan ponsel dari telinga kan, Kavi?

"Ada apa, Kav?"

"Aku mau minta maaf," ujarmu.

"Hah? Minta maaf kenapa?" Aku berdiri, kemudian menghampiri meja belajar dan menarik kursi putar di bawahnya, mendudukinya.

"Itu, permen kapasmu—"

"Permen kapasku?"

"Iya, aku mau minta maaf, permen kapas yang aku janjiin buat kamu, ternyata ludes," katamu sedikit mengeraskan suara. Sepertinya di rumah sedang banyak keponakanmu ya, Kavi? Ramai suara anak kecil sekali di sana. "Eh, jangan mainin laptop Om!"

Aku tertawa mendengarmu berkata begitu.

Oom Kavi, lucu sekali!

"Maaf ya, Re, banyak keponakanku nih, di kamarku."

Aku mengangguk-anggukkan kepala walaupun aku yakin kamu tak dapat melihatku. "Nggak papa, Om Kavi," godaku sambil cekikikan.

"Heh! Aku jadi kayak om-om hidung belang kalo kamu yang manggil gitu," sergahmu. Pasti kamu sedang memutar bola mata, ya, kan? "Oh iya, Re, nanti bes—astaga jangan loncat-loncat di kasur, nanti kalian jatuh!"

Aku semakin tertawa. Sepertinya kamu kerepotan mengawasi keponakanmu ya, Kavi? Tenang saja, lain waktu aku akan membantumu!

"Sebagai ganti permen kapasmu, aku mau ajak kamu ke pasar malam, lusa. Mau, nggak?"

Aku menegakkan posisi dudukku, kupu-kupu dalam perutku siap mengepakkan sayapnya! Menggigit bibir, aku berdeham. "Boleh." Mati-matian kujaga pita suaraku agar tak mengeluarkan nada senang yang sangat kentara.

"Oke, lusa, ya—"

"Oom mau ke pasar malam? Aku ikut!"

"Aku juga ikut, Om!"

Suara cempereng khas anak kecil perempuan menyerobot perkataanmu, Kavi, disusul suara lainnya. Itu pasti keponakanmu yang lucu-lucu, kan?

Aku terkikik mendengarmu menghela napas.

"Udah dulu ya, Re, bye. Pusing pala Oom."

"Hahaha, dah, Kavi!"

"Oom, aku ikut ke—"

Tut ... tut.

Kavi, kamu cuma mengajakku ke pasar malam demi mendapatkan ganti permen kapas yang kamu janjikan padaku, tetapi kenapa rasa senang begitu menggebu-gebu? Seolah kamu hendak mengajakku pergi ke benua Amerika, demi bertemu sang idola.

Kavi, aku pakai baju apa ya, malam lusa?

*****

Aku dan Kavi [1/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang