Aku tidak tahu lagi bagaimana cara untuk menggambarkan perasaanku sekarang. Rasanya terlalu campur aduk. Ada senang dan sedih yang datang bersamaan. Ada harapan dan ketakutan yang menguatkan dan melemahkan.
Sudah hampir dua jam aku duduk di tepi tempat tidur, Kavi. Melewatkan makan malam cuma demi menatap sebuah amplop biru laut berisi surat darimu yang tidak berani untuk kubuka. Surat yang kudapat dari seorang temanku, berkata kalau kamu menitipkannya untukku. Apa kamu sebegitu tidak inginnya bertemu denganku, Kavi?
Aku menghela napas. Mencoba hilangkan spekulasi dan asumsi yang menyerbu kepalaku dari sebelum aku tahu isi surat balasan darimu.
Dengan gemetar, aku meraih amplop dan memandanginya sekali lagi. Membukanya perlahan dan mengeluarkan secarik kertas berwarna biru langit.
Tertulis di situ, "Untuk, Edrea."
Kavi, aku sudah menangis padahal baru dua kata yang kubaca.
*
Untuk, Edrea.
Delapan bulan bukan waktu yang lumayan lama, Re, tetapi memang sudah lama. Sudah lama untuk ukuran dua orang yang tadinya dekat jadi jauh banyak sekat.
Bagaimana kamu bisa tahu kabarku padahal kamu tidak pernah cari tahu? Coba kamu tanyakan pada bulir hujan atau dedaunan dan bebungaan milik pohon bugenvil, adakah satu hari kulewatkan tanpa memperhatikanmu?
Aku memperhatikanmu secara nyata maupun maya. Kamu selalu melintas di hadapanku juga dalam kepalaku tanpa kamu tahu.Tidak ada yang bisa kubela di antara aku dan kamu. Sebab kita, sama-sama salah. Salahmu, ada pada pergi dan memilih berusaha lupa. Salahku, ada pada tidak mengejar dan tidak berusaha mengingatkan.
Juga tidak ada yang bisa kusalahkan di antara aku dan kamu. Sebab kita, sama-sama tidak salah. Tidak salah buatmu untuk punya perasaan padaku. Tidak salah buatku untuk tidak punya perasaan apa-apa padamu.
Jangan lari lagi, Edrea. Tetapi juga jangan berbalik lagi. Kamu cukup berhenti, biar aku yang mengejar dan menghampiri. Lalu kita bisa sama-sama berjalan beriringan walau pelan. Lalu kita bisa bergandengan sambil berlari.
Ayo kita berteman lagi. Tak apa walau kamu mengharap lebih. Sebab mungkin, aku juga akan begitu. Akan ada satu hari di mana aku ingin kamu terus bertahan, bukan lagi sebagai teman.
Cinta suka datang terlambat, Edrea. Mungkin sekarang aku belum, tetapi esok aku tidak tahu. Aku tidak mau hari ini melepasmu, jika pada akhirnya aku jatuh sebab kita kembali jauh. Aku mungkin akan jatuh cinta padamu, tetapi tidak tahu di titik mana. Mungkin saat kamu memberiku kue nastar. Atau saat kamu bercengkerama dengan keponakanku. Atau saat kamu gugup dan mencari toilet. Atau saat kamu merapikan kerudungmu. Atau saat kamu memutar bola matamu. Atau saat kamu menyebut namaku tiap kali kamu bicara.
Aku tidak tahu, Edrea. Ayo kita jalani saja semuanya dan kita saksikan cintaku jatuh pada titikmu yang mana. Pada waktu yang kapan. Pada cuaca yang bagaimana. Pada cara yang seperti apa.
Soal Sekara Gemilang, kamu tak usah pikirkan.
Aku,
Kaviansi Gaufan.*
Aku terisak kencang setelah membaca isi surat dari kamu, Kavi. Ibuku bahkan sampai tergopoh-gopoh membuka pintu dan berlari menghampiriku.
"Loh, Kak, kamu kenapa?"
Ada perasaan lega yang terlalu besar, menyusup perlahan dalam hatiku. Semua ketakutanku, tersibak habis dalam sepucuk surat beramplop biru laut darimu.
Sambil terisak, aku mengusap hidung dengan punggung tangan. "Aku lagi senang, Bu."
"Senang gimana? Orang kamu nangis gini."
Aku tak menjawab Ibu. Tanganku meraih ponsel yang bergetar singkat, yang ternyata berisi pesan darimu.
'Ayo kita berburu permen kapas lagi, di pasar malam yang pernah kita kunjungi waktu itu.
Besok malam, jam tujuh.'Kavi, mulai sekarang, aku hidupkan lagi harapan itu.
*****
Hai!
Jangan hapus cerita ini dari library kamu dulu, ya!
Masih akan ada dua cerita lagi dari sudut pandang berbeda hehe🌸
![](https://img.wattpad.com/cover/161974491-288-k154136.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kavi [1/3]
NouvellesIni tentang aku dan Kavi, laki-laki pemilik debar. [Ini cerita pertama dari tiga seri Edrea dan Kavi, jangan lupa baca dua lainnya, ya! (Tapi belum diunggah, hehe)]