"Ya Allah, kenapa aku mendadak mules?"
"Pengen buang air besar kali, Mbak."
Kavi, kamu tahu, tidak? Aku hampir saja memutar bola mata ketika driver ojek online yang duduk di depanku ini menimpali pertanyaanku yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Karena aku sendiri sudah tahu jawabannya; kupu-kupu dalam perutku kembali mengepakkan sayapnya ketika mereka tahu kalau aku akan bertandang ke rumahmu.
"Di sini, Mbak?"
"Iya," jawabku, "kayaknya."
Motor berhenti di depan pagar kayu bercat putih setinggi pinggang di sebuah rumah sesuai dengan alamat yang kamu berikan. Rumahmu warna putih kan, Kavi? Dengan banyak bunga di halamannya?
Aku tersenyum lebar, pasti calon ibu mertuaku itu suka sekali merawat tanaman!
Setelah membayar pada ojek online, aku berbalik dan siap masuk ke halaman rumahmu. Belum-belum, driver ojek online tadi berseru memanggilku.
"Mbak, Mbak!"
Membalikkan badan, aku mengernyit. "Apa, Mas? Uangnya kurang? Tapi di aplikasiya segitu, kok. Malah udah saya leb—"
"Mbok ya helm-nya dilepas dulu! Mau dibawa ke mana helm-ku?" Mas-mas ojek online itu misuh-misuh.
"Hah?" Aku bergerak bingung, lalu refleks menyentuh kepala. Ketika menyadari ada helm di kepalaku, aku memejamkan mata menahan malu. "Hehe." Sambil meringis, kulepas helm dan menyodorkannya kembali pada driver ojek online. "Maaf ya, Mas."
"Iya nggak papa."
Aku menghela napas setelah memastikan driver ojek online itu berlalu dari hadapanku. Sambil menyampirkan kembali ujung kerudungku yang jatuh ke atas bahu, aku membalikkan badan dan siap masuk rumahmu, Kavi.
Tapi—
'Duk!'
Degdegdegdegdegdegdegdegdegdegdegdegdegdegdegdegdegdeg.
"KAVI KAMU NGAPAIN BERDIRI DI BELAKANG AKU?!"
Jantungku sudah menggedor-gedor bilik dada, minta keluar.
Gila, Kavi! Aku baru saja menabrakmu! Bahkan bolu pisang yang kubawa ini hampir jatuh, untung aku memegangnya kuat!
Sementara kamu tertawa-tawa, aku coba redakan detak di dada. Selain kaget, aku juga salah tingkah, tahu!
"Helm-nya lepas dulu, Rea," godamu sambil cekikikan.
Aku mencebik, rupanya kamu tahu, ya, aku tadi lupa melepas helm!
Sambil pura-pura memasang wajah sebal (yang padahal menahan malu), aku memukul lenganmu. "Ini aku nggak mau diajak masuk?" tanyaku mengalihkan topik.
"Hahahaha." Kamu masih tertawa. "Untung cuma helm ojol yang dibawa, bukan hati driver ojolnya."
Mataku membelalak, "Apaan, sih!"
"Iya, iya." Kamu menghentikan tawa, "yuk, masuk."
Aku mengikutimu di belakang, melewati jalan setapak di halaman rumahmu sementara kanan-kirinya dipenuhi bebungaan. Senyumku semakin lebar, tak sabar bertemu calon mertua!
"Rea, kamu duduk di sini aja, ya."
Meski bingung kenapa aku tidak diajak masuk ke rumahmu, aku tetap mengangguk dan menaruh tas di atas meja kayu jati yang ada di teras rumahmu.
Huft, padahal kan, aku mau melihat-lihat foto-foto masa kecilmu yang pasti banyak ditaruh di atas bufet, Kavi! Tetapi tak apa, duduk di sini saja sudah terasa menyenangkan, asal berdua sama kamu.
Hehe.
"Maaf, aku nggak bawa apa-apa," kataku sambil menyodorkan kotak berisi bolu pisang padamu.
"Basa-basi banget, padahal ini bawa apa-apa," ejekmu. "Makasih, ya! Aku ke dapur dulu."
Kamu berlalu, Kavi. Meninggalkan aku sendiri, dengan kebingungan menggantung lima senti di atas kepala.
Kenapa rumahmu sepi sekali?
Tak lama, kamu kembali dengan dua cangkir teh panas dan sepiring bolu pisang yang sudah dipotong-potong.
"Makasih, Kavi."
Kamu tersenyum, duduk di kursi lain di sebelahku yang terpisah meja.
Aku berdeham, "Ibumu ... mana, Kavi? Aku mau kenalan."
"Aku tinggal sendiri, Rea. Ibu dan Bapakku sudah nggak ada. Kakak-kakakku sudah berkeluarga dan tinggal di rumahnya masing-masing."
Dang.
Entah perasaan apa ini, tapi aku merasa ada sesuatu yang melebur dari diriku ketika mendengarmu begitu.
"Ma-maaf, Kavi, aku nggak tahu."
Kamu terkekeh, "Nggak papa, Rea, santai aja," ujarmu, sambil sembunyikan kesedihan di balik kunyahan sepotong bolu.
Sekarang aku tahu, Kavi. Aku tahu kenapa kamu tak membawaku masuk ke rumahmu.
Aku juga tahu, halaman rumahmu yang indah ini bukan ibumu yang merawatnya, tetapi kamu sendiri di sela-sela kesibukanmu.
Sekarang aku makin tahu, Kavi, kalau aku makin jatuh cinta padamu.
Izinkan aku mengenalmu lebih jauh, Kavi. Izinkan aku menemanimu merawat bunga-bunga di halaman rumahmu. Izinkan aku menikmati tiap tawa yang keluar dari bibirmu.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kavi [1/3]
Short StoryIni tentang aku dan Kavi, laki-laki pemilik debar. [Ini cerita pertama dari tiga seri Edrea dan Kavi, jangan lupa baca dua lainnya, ya! (Tapi belum diunggah, hehe)]