"Re, main ke rumahku, yuk. Ada keponakanku, loh."
Aku mendesah dalam hati dan terus berjalan tanpa mendengarkanmu, membiarkan kamu mengikutiku sampai aku naik tangga. Sampai aku berbelok. Sampai aku berhenti di depan pintu toilet perempuan.
"Kavi, kamu mau ikut aku ke toilet?"
Matamu melirik ke stiker yang tertempel di pintu toilet, kemudian memelotot. "Ya kali!" serumu.
Kavi, kalau saja aku sedang tidak sebal denganmu, aku akan tertawa kencang karena kamu sangat lucu sekarang. Rasa-rasanya aku ingin mengeluarkan ponsel, lalu mengambil gambarmu. Kemudian mencetaknya dengan ukuran sama besar denganmu. Lalu kutempelkan di belakang pintu. Lalu kutendang! Lalu kucabik! Lalu kusobek!
Kavi! Aku benci sekali denganmu!
"Kamu kok, diem, Re."
Aku mengerjap, tanpa sadar kedua tanganku sudah mengepal. Menghela napas, aku berbalik dan masuk ke dalam toilet. Dan aku sangat bersyukur ketika menyadari tidak ada satu pun orang di dalam toilet.
Aku berdiri di depan wastafel, di hadapan cermin besar yang sebenarnya tidak terlalu besar dibandingkan cermin di kamarku.
"Dasar, nggak peka!" gerutuku sambil melepas kacamata dan peniti yang mengaitkan kerudungku. Kemudian kubasuh wajah dengan air yang sehangat senyummu, Kavi. Senyummu yang sekarang berubah jadi menyebalkan! Senyum yang sekarang berubah jadi menyakitkanㅡㅡmengingat aku bukanlah satu-satunya orang yang akan menjadi alasanmu untuk terus tersenyum. Mungkin saja nanti ada perempuan lain yang lebih berhak membuatmu tertawa, bukan?
Ah, aku benci sekali.
Kuraih dua lembar tisu dari dalam tas, kemudian mengelap wajahku dengan kasar. "Kavi bloon!" misuhku sambil merapikan kerudung dan kembali memakai kacamata. Aku juga menyemprotkan sedikit parfum dan memakai lip cream karena di bibirku sudah agak memudar.
Lalu, aku keluar toilet.
"Siapa yang bloon?"
Aku memejamkan mata ketika menyadari kalau kamu sedari tadi berdiri di depan pintu toilet. Astaga, Kavi, aku cuma bercanda! Hahahaha.
"Kamu ngatain aku bloon, ya?" tanyamu dengan mata memicing. "Aku juga tadi denger kamu ngomong nggak peka-nggak peka, siapa yang nggak peka?"
Aku tertawa panik dengan mata melirik sana-sini, "Apaan sih, Kavi, kok kamu jadi GR gini? Aku ngatain diri aku sendiri. Sudah nggak peka, bloon lagi," alibiku sambil berlalu meninggalkan toilet, disusul kamu.
"Loh, kamu nggak peka kenapa, Re?"
"Ada yang suka sama aku, sudah ngode-ngode, tapi aku nggak peka. Bloon, kan?"
Astaga, Kavi, aku harap kamu tidak menganggap serius perkataanku karenaㅡㅡsumpah! Aku hanya asal berkata!
"Wih? Kamu ada yang suka? Akhirnya ...," katamu sambil mengusap wajah seolah mengucap syukur. "Kayaknya sebentar lagi ada yang jadian, nih!"
Aku menghentikan langkah kaki.
Kamu benar-benar tidak peka, Kavi. Kamu ini bodoh, atau bagaimana?
"Re, kok berhenti, sih?"
Aku mau berhenti, Kavi. Aku mau berhenti! Berhenti menyakiti diri karena hanya jatuh cinta sendiri. Berhenti jatuh cinta karena hanya akan menyakiti diri.
Aku mau berhenti dari kamu, Kavi.
"Aku berhenti karena ..., aku mau berhenti."
"Berhenti apa?"
"Aku suka kamu lebih dari teman, Kavi. Lebih dari teman."
Aku membekap mulutku sendiri setelah sadar kalau aku keceplosan.
Dan kamu, Kavi, kamuㅡㅡdiam. Diam sampai detik yang melaju tak lagi mampu kuhitung. Diam sampai kakiku rasanya gemetaran. Diam sampai semua rasa debarku ketika di dekatmu berubah menjadi sembilu-sembilu yang kurasa akan segera membiru. Diam sampai aku kembali melangkahkan kaki, melanjutkan patah hati.
Aku mau menangis sekarang. Sebab diammu sudah menjawab apa yang tidak aku tanyakan.
*****
![](https://img.wattpad.com/cover/161974491-288-k154136.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kavi [1/3]
Kısa HikayeIni tentang aku dan Kavi, laki-laki pemilik debar. [Ini cerita pertama dari tiga seri Edrea dan Kavi, jangan lupa baca dua lainnya, ya! (Tapi belum diunggah, hehe)]