"Kira-kira, kalo aku makan diri sendiri, aku bakal jadi dua atau jadi raksasa ya, Kavi?"
Baiklah, Kavi, aku rindu sekali.
Sudah lebih dari satu purnama aku tidak membagikan cerita tentangmu pada pembaca dikarenakan sang author yang tiba-tiba menghilang, sehingga aku tak punya perantara untuk menuliskan apa yang terjadi ketika aku bersamamu. Bahkan momen ketika kamu mengajakku ke pasar malam, belum aku bagikan pada pembaca.
Setelah aku melontarkan pertanyaan, kudapati hening sebentar. Lalu, suara tawamu yang sedikit menggema dari balik telepon.
"Kamu nelepon aku malem-malem gini, cuma buat nanya itu, Re?"
Tanpa sepengetahuanmu, aku menyunggingkan senyum tipis. "Iya, Kavi, aku penasaran."
"Hm ..., kalo kamu makan diri sendiri, kayaknya kamu nggak akan jadi dua maupun jadi raksasa deh, Re."
"Terus, aku jadi apa?"
"Nih anak ya, kalo nanya suka banget yang aneh-aneh," katamu dari seberang. "Udah gitu, pertanyaannya yang susah dijawab dan bikin aku kepikiran juga."
"Hahahaha."
Kali ini aku tertawa, senang sekali rasanya kalau sudah membuatmu kesal. Kamu itu menggemaskan, soalnya.
"Jangan ketawa!" semburmu, membuatku praktis membungkam mulut. "Aku lagi mikir, nih."
Terkekeh, jantungku sudah berdebar-debar lebih dulu. "Selamat berpikir, Kavi. Aku matiin teleponnya, ya. Nanti kalo udah dapet jawabannya, jangan lupa kabarin aku."
"Heh!"
Aku mengerjap, "Kaget!"
"Jangan dimatiin dong, teleponnya."
Ya Gusti.
Pembaca, kalian harus tahu, kupu-kupu dalam perutku kembali mengepakkan sayapnya. Membawaku terbang ke dalam ruang penuh khayalan.
Kamu mau mendengar suaraku terus ya, Kavi?
"Eh, aku tahu," katamu, mengusir kupu-kupu dalam perutku.
"Gimana?"
"Kalo kamu makan diri sendiri, kamu nggak akan jadi dua ataupun jadi raksasa."
"Tapi?"
"Tapi jadi hilang, habis."
"Kok bisa hilang?" Alisku menyatu, ikut berpikir.
"Bukan badanmu yang hilang, tapi nyawamu. Habis, deh. Hahahahaha," tawamu menutup penjelasan yang kurasa asal-asalan tapi ada benarnya juga.
Mendengarmu tertawa, aku tersugesti untuk ikut tertawa juga. "Iya juga, ya."
"Bener kan, aku?" tanyamu dengan nada menyombongkan diri.
Aku hanya tertawa geli, kamu seperti anak kecil saja, Kavi. Sama-sama sangat, sangat, sangat lucu! Juga menyebalkan, tapi aku suka.
Lalu, hening.
Hampir dua menit aku mendengarkan deru napasmu dari balik telepon.
"Edrea."
Kavi, ini kali pertama kamu memanggilku Edrea. Perutku langsung terasa mulas dan jantungku kembali berdebar sebab menebak-nebak apa yang akan kamu katakan selanjutnya.
Kamu bukan ingin memintaku menjadi kekasihmu kan, Kavi? Ah, aku ini, percaya diri sekali.
"Y-ya, Kavi?"
"Jangan makan diri sendiri, ya, nanti kamu hilang. Nanti kamu habis."
"Ya nggaklah, masa—"
"Kalo kamu hilang, nanti aku sedih."
Tuut. Tuut.
Sambungan telepon kamu matikan.
Kavi, aku mau mati aja sekarang. Jantungku sudah loncat keluar, nih.
Tapi, Kavi, apa kamu benar-benar akan sedih kalau kehilanganku? Apa itu tandanya kamu punya rasa yang sama, sepertiku?
Aku harap begitu.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kavi [1/3]
ContoIni tentang aku dan Kavi, laki-laki pemilik debar. [Ini cerita pertama dari tiga seri Edrea dan Kavi, jangan lupa baca dua lainnya, ya! (Tapi belum diunggah, hehe)]