Selai Nanas Dalam Nastar

1K 130 2
                                    

"Kok, nanasnya nggak dimakan, sih, Kavi?"

"Aku nggak suka nanas ...."

"Yah ..., berarti aku salah, ya, bawain kamu kue nastar?"

"Nggak salah, kok, Re. Aku suka kue nastar, tapi nggak suka nanasnya."

"Hah?"

"Ih, mingkem, Re. Mulutmu kayak black hole. Hahahaha."

Aku segera mengatupkan rahang rapat-rapat setelah mendengarmu berkata begitu. Meski sebal dibilang mulutku mirip black hole, aku masih bingung denganmu. Suka kue nastar, tapi tidak dengan selai nanasnya. Ini sudah kue ketiga yang kamu makan tanpa memakan isinya.

"Tapi kan, yang spesial dari kue nastar, ya nanasnya." Aku berdecak dan menggeleng-geleng. "Apa kamu mau aku buatin kue nastar, tapi nggak pake nanas?"

"Eh, jangan," sergahmu. "Kalo mau bawain aku kue, ya kue nastar. Walaupun aku nggak suka nanas, tapi kue nastar nggak akan enak kalo nggak pake selai nanas."

"Ih? Aku baru tau kamu seaneh ini, Kavi."

"Orang aneh nemu orang aneh, rasanya aneh ya, Re?" ledekmu.

Aku menyeringai sebal, "Aku tau aku juga aneh, tapi kayaknya kamu lebih aneh deh, Kavi."

Kamu tertawa sebentar, "Lagian ya, Re, aku suka kue nastar itu kayak kita suka sama seseorang."

Tiba-tiba, jantungku langsung berdebar ketika mendengarmu berkata begitu. Entahlah, Kavi, aku rasa kata-kata 'suka seseorang' yang keluar dari mulutmu itu seperti alarm kebakaran untukku.

"Kayak suka sama seseorang? Wah, gimana, tuh?" kataku, pura-pura tertarik. Sebenarnya aku tak mau mendengar, tapi aku juga ingin mendengarnya, Kavi!

Ah, benar katamu. Aku ini aneh! Aku sampai bingung sendiri dari mana aku mendapatkan sifat dan sikap yang aneh ini.

"Aku suka kue nastar, tapi nggak suka bagian spesialnya; selai nanas. Sama kayak kita suka seseorang, tapi bukan berarti kita juga suka bagian spesial dari orang itu, kan?"

"Hah?" Aku tak mengerti, Kavi. Tolong jelaskan dengan lebih padaku.

Kamu berdeham sebelum melanjutkan. "Kamu tau, Re, 'bagian spesial dari orang' yang aku maksud di sini itu, perasaan. Misalnya kamu sama aku nih, ya. Cuma misalnya, loh, cuma contoh. Kamu suka sama aku, suka lebih dari teman. Tentu aja bagian spesial dari kamu untukku, itu perasaanmu, kan? Nah, aku juga suka sama kamu, tapi sebagai teman. Dengan begitu, aku bisa aja nggak suka dengan bagian spesial itu, dong? Bisa aja aku nggak suka dengan perasaan kamu ke aku."

Aku menghela napas dalam-dalam. Mencoba keluarkan sesak yang tiba-tiba menumpuk di dalam dada.

Kavi, aku beritahu satu hal.

Yang kamu jelaskan tadi bukan contoh, itu kenyataan.

Aku ini memang benar-benar suka padamu, Kavi. Lebih dari teman!

"Kavi, kamu suka sama aku?" tanyaku pelan.

"Suka, dong," jawabmu sambil menyunggingkan senyum tipis.

"Sebagai teman?"

"Sebagai teman." Senyummu semakin melebar.

Aku tertawa tanpa suara. Aku tidak tahu kalau di bagian kedelapan dari cerita ini, merupakan bagian pertama dari patah hatiku.

Aku juga tidak mengerti, Kavi. Kemarin kamu bilang kamu takut kalau harus kehilanganku. Kamu bilang kamu akan sedih kalau kamu kehilanganku. Ternyata, hadirku tidak lebih dari sekadar teman saja untukmu.

'Rea, Kavi hanya takut kehilangan seorang teman, bukan seorang perempuan.'

"Kavi, aku ke toilet dulu, ya."

Kavi, lain kali kalau kamu memang tidak suka padaku, jangan bilang-bilang, ya. Besok-besok jangan lagi kamu katakan hal-hal yang bisa membuatku menghidupkan harapan untuk bisa bersamamu. Biarkan aku mencintaimu dalam ketidaktahuan.

Kavi, kamu memang pemilik debarku. Tetapi aku tahu kamu tak pantas untuk menjadi pemilik rasa sakitku.

*****

Aku dan Kavi [1/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang