Kavi, semesta menggantungkan gumpalan awan mendung di rahang langit sore ini. Bahkan bulir-bulirnya yang sebesar jeruk nipis itu mulai dimuntahkan, menerjang atap kampus. Juga menerjang beberapa kepala mahasiswa yang kini berlarian. Menerjang banyak helm dan tubuh pengendara motor yang kini menepi ke emperan toko.
"Hujan," gumamku pelan. Kutebak kamu tak bisa mendengarku, sebab suaraku kalah telak dengan suara bising yang diciptakan hujan.
Ah, aku benci hujan dan segala bau yang dibawanya.
Terlebih, aku benci hujan karena sore ini aku tak jadi berkunjung ke rumahmu untuk mengambil banyak permen kapas, juga mengambil hati ibumu, Kavi. Aku benci hujan!
"Mundur, Re."
Kamu menarik tanganku ke belakang, menjauhi sisi koridor yang jika aku berdiri di situ aku akan terkena tempias hujan dan akhirnya kebasahan. Bahkan kerudungku ini sudah lepek, bentuknya pasti tak karuan! Huh, hujan, kenapa kamu datang sekarang?
Lalu, aku terbatuk ketika bau tanah kering yang disiram hujan menusuk tajam hidungku.
"Deras banget."
Kavi, kali ini semesta tidak mendukungku dalam hal mengenal lebih jauh sosokmu. Ia menahanku agar tidak bertandang ke rumahmu, menyebalkan sekali, kan?
Atau mungkin, Kavi, ini salah satu cara semesta dalam memberiku kesempatan untuk sedikit-sedikit mengenalimu lebih jauh? Sepertinya iya!
Baiklah, kalau begitu.
"Kavi, kamu suka hujan?" tanyaku memecah hening, walau dalam dada kiriku amat berisik. (Seperti biasa, debarnya bersahutan, seolah ingin kamu mendengar.)
Kamu mendongak, menatap rinai yang jatuh dari atap yang kemudian masuk ke selokan kecil di sisi koridor. "Suka," jawabmu disusul senyum tipis.
Aku kecewa dalam hati.
Kecewa karena aku dan kamu ternyata tidak sama.
Tetapi, Kavi, bukankah cinta yang baik itu saling melengkapi?
Aku tersenyum lebar menyadari hal itu. Sambil menggosok-gosokkan kedua tanganku yang mulai kedinginan, aku kembali angkat suara. "Aku nggak suka hujan."
"Kenapa?"
Kamu menoleh dengan cepat, menangkap tepat manik mataku yang kini bergerak rikuh.
Ditatap seperti itu, aku langsung gemetar, Kavi! Kedua tanganku yang terangkat kini bergetar kecil.
"Oh, kamu kedinginan?" tanyamu, menebak sendiri pertanyaanmu tentang alasan aku tak menyukai hujan. Lalu dengan cepat kamu membuka ranselmu dan mengeluarkan jaket hitam yang kali ini tidak kamu pakai. "Pake ini, Re." Kamu menyodorkan jaketmu padaku.
Ribuan kupu-kupu langsung beterbangan dalam rongga perutku, Kavi. Aku sudah terbang ke langit kedelapan tanpa bisa menghindar! Astaga, cupu sekali aku, semakin gemetaran!
"Makasih, Kavi." Aku menerima jaketmu. Alih-alih memakainya, aku justru mendekapnya.
"Kenapa nggak dipake?" tanyamu kebingungan.
Aku memberanikan diri menatap matamu, Kavi. Senyumku terulas lebar di wajah. Dengan mantap, aku kembali angkat suara, "Kavi, aku sekarang suka hujan."
"Kamu aneh, ya, Re. Tadi bilangnya nggak suka."
Kali ini kamu tertawa, sampai matamu menyipit. Sampai bahumu bergetar. Sampai aku rasanya ingin mengambil stoples kaca untuk merekam suara tawamu. Menutupnya. Menyimpannya. Lalu mendengarkannya ketika aku merindukan kamu.
Kavi, ternyata ini memang rencana semesta untuk mendukungku dalam mencintai kamu.
Mulai sekarang, aku sudah menyukai hujan.
Karenanya, kamu mengira kalau aku gemetar sebab menggigil kedinginan. Padahal, aku gemetar karena debar jantung yang tak karuan.
Hahaha!
Hujan, kamu jadi kambing hitam.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kavi [1/3]
Short StoryIni tentang aku dan Kavi, laki-laki pemilik debar. [Ini cerita pertama dari tiga seri Edrea dan Kavi, jangan lupa baca dua lainnya, ya! (Tapi belum diunggah, hehe)]