Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan
I am Scared
Me Too
Sejak kami berkumpul, aku sibuk menghindari Mike, Mike sibuk berusaha menautkan tatapannya denganku. Sewaktu akhirnya Satya berpindah ke gendongan sang kakek, akhirnya dia memanfaatkan kesempatan mendekatiku.
"Masih marah?" bisiknya.
Aku diam.
"Gue nggak bilang gitu, Lit. Berani samber geledek. Papa cuma iseng, soalnya lo uring-uringan terus."
Aku masih diam.
Kami menanti mobil kantor yang akan membawaku dan Edward ke bandara, sekaligus menunggu Nad yang akan kuserahi kunci mobil. Tadinya, mau kutinggalin di rumah, tapi Nad bilang dia mau memakainya. Aku tahu dia hanya mau curi-curi kesempatan bertemu Edward, syukur-syukur membujuk Mike menjadi member kartu sakti hotelnya.
Semalam, setelah Ed pulang, aku ribut besar sama Mike soal perkataan ayahnya. Aku tersinggung berat kalau benar dia punya anggapan seperti itu. Memang, aku paling nggak suka proyek dadakan, segede apapun duitnya. Akan tetapi, aku juga paham nggak bisa memaksakan kehendak. Jadi selama ini itu yang dipikirkannya kalau aku rewel soal pekerjaan?
"Lita ...."
"Stop!" hardikku. "Nggak usah rewel. Udah tahu ada bokap lo, please bersikap biasa aja. Gue males ya kalau dia sampai tahu kita berantem, terus entar dijadiin bahan buat dia nyindir-nyindir gue."
"Nyindir-nyindir lo?" ulang Mike. "Emang bokap gue suka nyindir-nyindir lo?"
Ups.
Aku lupa Mike sama sekali nggak tahu kejadian Jumat malam dan insiden lorong itu. Soal kanker sesuatu, juga tentang mengapa dia bawa-bawa bayaran profesional, dan sindiran-sindiran lain yang dipikirnya terucap dari mulut Ed tanpa alasan.
"Bokap gue nggak pernah nyindir siapapun," katanya. "Kalau dia nggak suka, dia pasti langsung ngomong depan muka orang itu."
"Ya makanya, gue nggak mau bokap lo yang protektif itu sebal ama gue karena gue diemin lo," aku berkelit.
"Lita, dia nggak akan sudi bepergian sama seseorang yang berpotensi akan bikin dia sebal. Trust me. He likes you," Mike mengembuskan napas berat. "Itu yang gue khawatirkan sebenarnya."
"Maksudnya?"
"Semalam dia nanya, kenapa kita nggak pacaran aja?"
Aku tertawa getir. "Lo bilang apa?"
"Gue nggak bilang apa-apa," jawabnya lesu, lalu menyandarkan punggung di sofa. Tiba-tiba, aku bergidik karena rambut di punggungku disentuhnya. "Gue juga nggak tahu kenapa ...," gumamnya, yang bikin aku menoleh seketika.
Ekspresi bertanya-tanya Mike menyongsong tatapan heranku tentang pernyataannya. Aku baru akan bilang; bukankah jelas kenapa? Bukankah kami sudah sepakat (walau tanpa kata) bahwa kami nggak pacaran karena nggak punya rasa apa-apa, persis seperti yang kami tertawakan di meja makan Burkett and Randle tempo siang?
Namun, pintu lobi keburu terbuka dan suara sapa Nad yang kelewat ceria mengurai kait tatapanku dengan Mike.
Aku menyambut Nad dengan kabut menyelimuti benak.
Kenapa Mike bikin ekspresi seperti itu, sih?
Ini pasti gara-gara Edward mencekokinya doktrin tentang pernikahan secara terus menerus jadinya Mike mulai mikir macam-macam. Pasti nanti ujung-ujungnya dia punya ide gila, misalnya pura-pura pacaran denganku supaya ayahnya tenang dan segera pulang ke habitatnya. Masalahnya, kalau aku punya perasaan khusus pada sang ayah, aku jelas nggak mau diajak pura-pura gitu. Bukan berarti aku punya rencana PDKT sama Ed (sampai detik ini aku lebih berharap segera menemukan satu hal yang membuat rasa sukaku lenyap seperti terhadap Tigor), tapi aku menolak memainkan hatiku, atau hati siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Age Between Us (SUDAH TERBIT)
Romance*An Age Gap Love Story* What if I told you One day you will meet a girl Who is unlike anyone else you've known. She will know all the right things to say, what makes you laugh, what turns you on, what drives you wild and best of all, you will do for...