Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan
I Will Forget It
I Won't Let You"Wow! Aku nggak nyangka kamu lumayan juga!" seru Marc tepat di daun telingaku.
"Aku lulusan institut seni," kataku tanpa bermaksud membanggakan diri, kedua tanganku terus mengelus tanah liat basah yang diletakkan di atas meja treadle wheel (alat pemutar dengan pedal dalam teknik pembuatan keramik), berusaha membuatnya berbentuk. "Meski ini bukan keahlianku. Sama sekali." Aku tertawa.
Marc mengangkat kedua tangan yang semula membimbingku dalam uji coba untuk senang-senang saja.
"Apa spesialisasi yang kamu ambil?" tanya seniman Thailand dengan bahasa Inggris patah-patah yang merelakan meja kerjanya kami pinjam sebentar.
"Desain komunikasi visual," jawabku tanpa mengalihkan perhatian pada bentuk pot yang mulai bikin aku kepayahan. "Ahhh!" seruku, gerak kaki dan tanganku mulai tak seirama. Seniman itu menertawakanku kemudian bicara pada Marc sambil memperagakan apa yang harus dilakukannya sebelum gagal total.
Dengan cekatan, Marc yang duduk di belakangku segera mengambil alih. Aku menyerahkan urusan tanah liat sepenuhnya pada Marc tanpa berhenti mengayuh pedal. Posisinya sebenarnya kurang nyaman. Kedua lengannya melewati lenganku, sedangnya pinggulku berada tepat di antara dua kakinya. Tapi, Marc pria yang sangat sopan dan baik, jadi aku sama sekali tak canggung ketika kami akhirnya main tanah liat berdua.
Marc ternyata cukup pandai. Dia menahan kembali bentuk tanah liat yang hampir jatuh di tanganku, perlahan menaikkannya hingga membentuk kerucut. Ketika putaran pedal di kakiku mulai menemukan ketukan yang pas, tanganku kembali terjun membantunya menekan bagian samping untuk memadatkan tanah liat. Dia memintaku menyingkir karena harus memperbesar lubang dan mempertegas bentuk yang kutahu membutuhkan konsentrasi tinggi.
"Yang barusan itu romantis, kan?" Dia mengekeh penuh canda. "Kalau kamu tahu maksudku, kamu pasti malu."
"Maksudmu seperti Demi Moore dalam film Ghost?" tanyaku merujuk pada adegan romantis dalam judul film itu. Meski film itu populer saat aku masih bayi, tapi gaungnya terdengar sampai satu dekade kemudian. Bahkan lebih.
"Wah kamu tahu film itu? Itu film romantis paling sensual pada masanya. Sejak itu, aku menyesal tidak mengambil seni rupa murni," dengus Marc, membasahi tangannya sebelum kembali berkutat dengan tanah.
"Hanya karena film?"
"Iya. Yah sebetulnya jauh sebelum itu aku memang sudah suka melukis di atas kanvas, tapi ayahku tak mengizinkanku menekuni dunia seni. Setelah itu, mungkin sesuatu yang terpendam dalam diriku muncul ke permukaan, aku belajar di studio-studio seni, tapi yah ... karena pekerjaan, dan ini, dan itu ... akhirnya hanya jadi hobi."
"Bukan karena kamu ingin membuat adegan seperti itu di studio-mu sendiri, kan, Marc?" Gantian aku menggodanya.
"Yah itu salah satunya."
Tawa kami berderai.
Diam-diam, aku melirik pada Edward yang sibuk sendiri di depan tungku bersama beberapa asisten seniman pemilik studio.
Saat film yang dibintangi Demi Moore dan Patrick Swayze itu begitu populer pada awal tahun 90an, dia sudah menikah dengan mendiang istrinya, bukan? Apa mereka menonton film itu dan memujanya seperti mayoritas pasangan dimabuk asmara pada masa itu? Mungkin saja, sebab mama juga mengaguminya. Aku menemukan kepingan laser disc koleksinya di rumah lama.
Melihat Ed begitu mendukung bisnis Mike, apa dia juga pecinta seni rupa sejak ia muda? Apa dia juga pernah bemesraan dengan mendiang istrinya menggunakan referensi adegan yang sama?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Age Between Us (SUDAH TERBIT)
Romansa*An Age Gap Love Story* What if I told you One day you will meet a girl Who is unlike anyone else you've known. She will know all the right things to say, what makes you laugh, what turns you on, what drives you wild and best of all, you will do for...