11. Surprise Surprise

11.9K 1.9K 259
                                    

Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan

Maybe it's you
The one who'll be travelling the world with me 

"Paaagi ... Lit ... aaa ...," Nina membalas sapaanku dan mengakhirinya dengan mulut terbuka. Sebelum aku melewatinya, resepsionis cantik itu menengok ke arah jam dinding sampai dua kali. "Ada angin apa, nih? Ada ujan batu di luar?"

Lidahku menjulur padanya.

"Serius. Ada klien penting?"

"Ada, kan?" aku kembali berjalan ke mejanya, pura-pura biasa aja. "Edward Kilmer."

"Oh God ... orang tua pemarah itu?" dengusnya sambil bertopang dagu. "Beda banget ya dia sama Michael?"

"Beda gimana?" tanyaku langsung tertarik.

"Masa kemarin penampilan gue dikritik. Katanya, I am the face of this gallery, harusnya gue berpenampilan yang lebih mencerminkan kepribadian sebuah karya seni. Apa maksudnya coba? Apa gue harus pakai kain putih melambai-lambai kayak dewi Yunani di lukisan-lukisan renaissance? Dia kira pena bulu-bulu bukan karya seni apa? Sebel gue!"

"Dia ngomong gitu?"—secara otomatis aku melirik pena resepsionis yang ternyata emang udah berubah senormalnya pena resepsions, yakni tak berbulu—"Terus lo bilang apa?"

"Ya gue nunduk aja lah, makanya hari ini gue pake baju biru. Padahal ini hari shocking pink gue, lo harus tahu betapa sulitnya gue melangkah keluar rumah dengan ngelanggar color pattern gue hari ini. I am having mental breakdown sejak pagi, rasanya semua orang menatap gue aneh. Sandra bagian logistik aja heran kok gue minta pena hitam polos berlogo galeri, padahal gudang udah restok pena bulu permintaan gue. Kapan sih dia balik ke New York-nya?"

"Hmmm... gue masih nggak paham juga, sih. Hari ini dia udah datang?"

"Belum," jawab Nina lesu. "Lo pasti dipaksa datang pagi, ya?" tuduhnya.

"Yah ... begitu lah," bualku untuk menyenangkan hatinya, lantas kutinggalkan dia setelah menepuk punggung tangannya memberi semangat supaya dia sanggup melewati hari dengan mental breakdown karena 'dipaksa' melanggar color pattern dan di-banned dari menggunakan pena bulu di meja resepsionis.

Michael tak pernah menyoal tentang gaya dan pakaian karyawan, meski dia sendiri selalu tampil rapi dengan kemeja, dan kadang blazer kalau ada janji pertemuan. Dia malah suka kalau kantornya berwarna mengingat desain kantor dan galeri yang disengaja minimalis supaya mudah menyesuaikan tema pengguna. Asal tidak sedang ada permintaan khusus, Nina boleh pakai apa saja, bahkan sepasang anting menjuntai hingga bahu yang membuat kepalanya susah bergerak.

Aku memilih diam.

Lebih asyik menyimpan sisi charming Edward buat diriku sendiri.

Kalau soal selera, yah ... namanya juga orang tua. Lagian, sebagai pensiunan Quality Assurance Manager, wajar sih kalau dia bawel dan banyak kritik. Emang kerjaannya. Sewaktu menangani proyeknya, aku juga udah aware masalah itu ... di mana-mana yang namanya QA itu paling susaaah diajak nego. Baik di bidangnya maupun tidak, itu udah seperti insting dasar mereka untuk memastikan segalanya sempurna. Nggak hanya soal produksi, yang namanya QA memang assuring segalanya, meliputi karyawan dan lingkungan kerja.

Tapi yaaa ... dia bukan siapa-siapa di sini jadi Nina boleh protes kalau dia mau.

Begitu keluar dari lift dan muncul di ruang staf, kehadiranku langsung disambut Kanaya di depan mesin fotokopi. Kuap lebarnya tak kunjung menutup saat aku menyapanya selamat pagi. Beberapa kepala menongol dari sekat kubikel saking nggak percayanya dengan kemunculanku. Aku berjalan penuh percaya diri. Rasanya menyenangkan juga sekali-sekali datang pagi, tapi kalau tiap hari ya membosankan.

The Age Between Us (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang