15. Khaosan Road

12.3K 2.2K 401
                                    

Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan

Truth or Dare? 
Truth. I Love You.

***

Oh ... jadi itu rahasia penampilannya?

"Hey ... how about you with us hang out and drink tonight, take your girlfriends with you, yaaar?"

Aku tersenyum kecut, mengambang menjauh. "No, thanks. I am travelling with my Dad."

"Your Dad?"—sekelompok turis itu tertawa—"Well, your Dad sleep early you go with us. Khaosan Road good food, good alcohol, very cheap. We'll treat you."

Oh my God ....

Menyebalkan.

Setelah beristirahat sebentar di kamar masing-masing, Ed mengirimiku pesan menanyakan apakah aku membawa bath suit atau tidak. Untungnya aku bawa. Saat aku naik ke lantai delapan, dia sudah berkeringat duduk di atas leg press dalam trunks dan sport shirt yang mengekspos lengan kekarnya. For your information, resepsionis yang menerima kami menanyainya sampai dua kali perihal usianya saat meneliti paspor. Tentu saja, dengan cara yang sangat mengesankan, sehingga siapapun tak akan tersinggung diragukan usianya.

Aku yakin gadis-gadis remaja yang sepertinya berasal dari Jepang atau Korea dan tengah kasak-kusuk tak jauh dariku itu juga sedang asyik mengaguminya. Aku memang tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi mereka terus melihat ke arah ruang fitness sambil menjilat bibir merah muda mereka. Rasanya aku ingin mengunjungi kursi jemur mereka dan memberitahu bahwa pria berambut perak itu mungkin bahkan lebih tua dari ayahnya di rumah.

Matahari menyengat terik meski sudah sore. Setelah berenang hanya beberapa menit karena risih didekati turis berwajah Asia Selatan yang mendesak mengajakku melewatkan waktu di Khaosan Road yang tersohor, aku berjemur dan pura-pura membaca majalah. Jelas, aku tak benar-benar membaca. Majalah itu hanya kugunakan sebagai penyamaran.

Entah sudah berapa kali aku melakukannya; menurunkan majalah sampai batang hidung demi mengintip aktivitasnya di gym yang terletak tak jauh dari kolam renang. Yang jelas, tak satu artikel pun benar-benar kubaca. Sampai akhirnya tubuhku mengering dan aku mulai bosan, kuputuskan kembali ke kamar setelah berpamitan.

Edward mencolek hidungku. "Kamu nggak berenang?" tanyanya.

Rupanya dia melakukannya untuk mengecek mukaku basah atau tidak. Rambutku memang kunaikkan dan aku hanya berenang main-main saja.

Kujauhkan wajahku atau akan merah seperti udang rebus.

"Ya sudah, aku juga turun saja kalau begitu," katanya. Memintaku menunggu sementara dia mengambil barang dari loker dan mohon diri kepada beberapa kawan barunya. Saat kami berhadapan lagi, sebagian keringatnya sudah kering.

"Pantas badanmu masih bagus," pujiku.

Edward tidak suka menolak pujian. "Lima ... atau empat tahun terakhir ini aku memang banyak olahraga untuk mengalihkan pikiran buruk. Kamu juga harus banyak berolah raga supaya tidak stres. Olah raga melepaskan hormon endorfin yang membuatmu bahagia—"

Dan aku tidak suka dituduh. "Aku nggak stres."

"Kamu cepat tersinggung, itu tandanya kamu tidak melepaskan cukup banyak endorfin."

"Kamu juga cepat tersinggung," balasku.

"But I forgive quite easily."

Aku tersenyum mengejek tepat di depan lift sebelum membuka. "In fact, Ed, banyak orang menganggapmu galak."

The Age Between Us (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang