Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan
I Don't Deserve You
You're PerfectKalau dipikir-pikir daripada sakit, aku malah mati rasa.
Kemarin kami meninggalkan Kohkret sebelum gelap. Ed mengetuk connecting door untuk mengajakku makan malam dan pergi begitu tak ada jawaban dariku setelah ketukan ketiga. Dia tak repot-repot memaksa seperti yang kupikir akan ia lakukan kalau aku tak bertingkah. Aku tidur cepat, bangun sebelum fajar menyingsing dan—sebelum kusadari—aku membuka laptop untuk menyelesaikan pekerjaan yang kutinggalkan selama business trip.
Ingat-ingat, aku sudah duduk di balkon restoran yang terletak di lantai dua, menyesap kopi hitam. Melamun. Seorang pelayan mendatangi dan menanyai apa ada yang bisa ia bantu dalam bahasa Inggris. Aku berpikir sebentar, kemudian minta diambilkan omelet dan beberapa potong buah. Saat kembali, dia memberiku sebuah kartu kosong dan pena. Katanya, aku bisa minta dimainkan lagu balada era 90an pada sepasang kibordis dan penyanyi yang menghibur sarapan pagi di hotel ini.
"Apa saja?" tanyaku.
"Kalau mereka bisa, mereka akan memainkannya," dia bilang.
"Berapa usiamu?" tanyaku lagi.
"Dua puluh satu," jawabnya.
"Apa lagu balada era 90an yang cocok untuk patah hati?"—dia terkejut mendengar pertanyaanku—"Oh. Aku tahu. Ini."
"Oh aku tahu lagu ini, ayahku sering memainkannya," ujarnya dengan senyum ramah. "Aku yakin mereka tak akan kesulitan."
Pelayan tadi mohon diri dan langsung menyerahkan kartu ke panggung. Karena masih cukup pagi dan belum banyak pengunjung yang mendatangi restoran untuk sarapan, sepertinya kartuku adalah kartu pertama. Penyanyi yang menerima catatanku tersenyum tepat ke arahku. Begitu lagu yang tengah dimainkannya selesai, mereka mencoba nada dari lagu yang kuminta.
Pada bait pertama syair lagu itu, kursi lain di mejaku ditarik oleh seseorang.
"Bagaimana kamu tahu lagu itu?" Edward bertanya sambil duduk tanpa kupersilakan.
"Ayahku sering memainkannya saat aku masih kecil, itu juga lagu favorit mama yang tak pernah gagal membuat air matanya diam-diam jatuh membasahi pipi." Aku menjawab lancar tanpa menoleh sedikitpun padanya.
Dia tersenyum. "It was my favorite song too," katanya, matanya menerawang ke depan, sesekali memejam mengikuti lantunan lagu. "You know ... empat tahun setelah pernikahan kami, Mike was three years old, istriku divonis kanker, lagu ini dirilis. When I heard it for the first time, kupikir ... is this good bye?"
"But it wasn't?"
"It wasn't." Dia menggeleng. "Bahkan, itu awal dari segalanya. Sejak pertama kali kami bertemu, aku sudah tahu dia seseorang yang istimewa. Akan selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kebahagiaan memiliki seseorang yang istimewa, aku hanya tak menyangka bayarannya harus seberat itu."
Saat Edward memause kisahnya dengan mengambil sebungkus gula dari tengah meja, aku memintanya menyerahkan benda yang akan digunakannya menggulai teh itu. Dengan senyum dan ucapan terima kasih, dia membiarkanku membantunya.
Dia melanjutkan, "Ada masa-masa di mana kami begitu terpukul. Namun, my love for her is bigger than our problem. Penyakit itu dan Michael membuatku tahu bahwa kami dipertemukan Tuhan untuk sebuah alasan. I don't deserve them. Aku hanya pria biasa, sementara Febbi seperti malaikat dan Michael begitu mirip dengannya. Lalu aku bertanya-tanya ... kenapa Tuhan mempertemukan kami? Dan untuk memperoleh jawabannya, kuhabiskan hidupku berjuang agar ketidakistimewaanku sepadan dengan kebahagiaan yang kucecap sejak kehadiran mereka, serta bagaimana caranya memperpanjang perpisahan"—Ed menyesap teh—"this song ... has never once out of my playlist...."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Age Between Us (SUDAH TERBIT)
Romance*An Age Gap Love Story* What if I told you One day you will meet a girl Who is unlike anyone else you've known. She will know all the right things to say, what makes you laugh, what turns you on, what drives you wild and best of all, you will do for...