12. Oh Ed

12.9K 2K 282
                                    

Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan

You're Pushing My Botton
Which Button?

"Iya. Jadi kalau bisa gue nitip rumah ya beberapa hari, soalnya mendadak." Aku menelepon Nad dan menjelaskan apa yang terjadi.

Oke. Pertama-tama ... aku harus mensugesti diri bahwa dia nggak ganteng-ganteng banget. Dia hanya bule yang awet muda. Di New York, mungkin kaukasian yang awet muda mudah kutemukan di tiap tikungan jalan.

Kalau itu masih belum mempan, aku harus ingat hal kedua yang jauh lebih penting daripada itu, yakni bahwa dia ayah Mike. Bayangkan jika sesuatu terjadi di antara kami, betapa akan awkward-nya hubunganku dan Mike.

Ketiga he's not sweet at all. Dia memanfaatkanku untuk mengorek keterangan tentang Mike. Iya. Benar. Karena dia tahu hanya aku yang bisa ditanyainnya soal kehidupan pribadi Mike, makanya dengan mudah dia memaafkanku. Buktinya, saat Mike keceplosan membicarakan komentarku mengenai email-email sengitnya dia langsung tersinggung lagi dan menantangku bepergian ke Bangkok.

"Wow dia termasuk gampang tersinggung ya buat ukuran pria dewasa," gumam Nad saat aku meneleponnya. "Orang tua memang mudah tersinggung, persis seperti remaja belasan tahun. Orang bilang, 40 is the new 20."

"Kalau 40 itu 20 tahun kedua, harusnya sekarang dia sedang mengulang usia 32 tahunnya," balasku.

"Benar juga ... seharusnya dia nggak seimpulsif itu atau ... mungkin 40 is the new 20 cuma ungkapan untuk menyenangkan orang-orang tua."

Aku tertawa.

"Lo nggak perlu gugup, kayaknya daripada bikin lo jatuh cinta di Bangkok nanti, dia akan lebih bikin lo senewen. Balik-balik lo udah lupa bahwa sebelum berangkat lo sempet tertawan pesonanya. Believe me, you're faster than Barry Allen in disliking someone. Remember Tigor?"

Oh yeah ... Tigor ... secara harfiah, dari seseorang yang begitu menyenangkan dan kunantikan bertemu, aku berbalik menghindarinya hanya dalam satu jentikan jari. Perasaanku menjadi lebih tenang mendengar kalimat penghiburan Nad, meski sebenarnya itu bukan pujian sama sekali.

Aku sampai di depan Taman Kanak-Kanak dan Day Care di mana Satya belajar sampai pukul sepuluh. Michael bilang, anak itu disekolahin karena dia sendiri yang kepingin, bukan lantaran dipaksa. Kadang kalau malas, ya nggak berangkat. Kalau Mike lagi nggak banyak kerjaan, suka dibawa ke kantor. Actually, I am clueless about parenting. Saat Mike menjawab pertanyaan isengku kenapa dia menyekolahkan Satya padahal usianya baru empat tahun, dia menjelaskan panjang lebar bahwa itu tidak dilakukannya untuk mendesak Satya belajar, dia tak ingin memaksanya, dia hanya ingin Satya mengenal lebih banyak teman, dan itu keinginan Satya, I was like Oh okay. Aku yakin Mike hanya tak suka meninggalkan bocah itu kelamaan dengan seorang suster saja dan kupikir membawanya ke kerumunan bukan ide yang buruk. Beside, what 4 year old kid knows about what they want?

Tepat di depan gerbang sekolah, langkahku terhenti. Nggak mungkin kayaknya aku mensugesti diri seperti tekadku beberapa menit yang lalu kalau penampilan Edward konsisten seperti itu.

Dia tengah berdiri dengan kedua tangan tersimpan dalam saku celana chino hitamnya. Atasan sweatshirt berwarna coral membalut tubuh atletisnya yang tegap dan gagah. Kedua matanya menatap teduh lurus ke depan di mana sekumpulan balita sedang berjuang mengenakan sepatu sendiri tanpa bantuan guru mereka. Bibirnya tersenyum tipis, membentuk gurat usia yang meningkatkan kadar ketampanannya. Sebagian rambut keperakannya terbang tertiup sepoi angin.

The Age Between Us (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang