Chapter Two: With the Open Heart

1.9K 211 0
                                    

Gue duduk di peron stasiun, sedang menunggu kereta yang akan gue tumpangi datang. Ya, gue mau balik lagi ke Solo, setelah sebelumnya ngobrol panjang lebar dengan mantan gue. Nyelesein semua missunderstanding di antara kita.

Gue udah lega, meskipun gue belum bisa buka hati buat orang baru, setidaknya hati gue sudah nggak kekunci lagi.

Dan sekarang, gue kepikiran Mas Rian.

Kita tidak bertukar kontak, jadi gue nggak tau gimana caranya gue bisa keep in touch sama dia. Alhasil, yang gue lakukan adalah mencari keberadaannya di internet. Dia bilang dia atlet bulu tangkis, namanya Rian, dan yang gue tau waktu ngobrol sama dia, dia mau ke Jogja. Mungkin dia orang Jogja, spekulasi gue.

Jadilah gue ketik keyword 'Rian atlet bulu tangkis' di Google.

Eh, yang namanya Rian banyak banget. Gue coba search satu satu dan ngeliat fotonya, tada! Oh, Muhamad Rian Ardianto nama lengkapnya.

Setelah itu, gue menemukan instagram dan twitternya. Langsung saja tidak perlu basa basi, gue klik follow di profilenya. Followersnya lumayan juga, sudah ratusan ribu.

Sedang asyik ngepoin IGnya mas Rian, tiba2 kereta gue datang. Jadinya gue buru2 masukin hp dan langsung jalan ke gerbong tujuan.

Kereta yang gue naikin adalah kereta ekonomi, tapi gue pilih seat yang 2-2, dan letaknya di pojok. Waktu gue duduk, belum ada orang lain di sebelah maupun depan gue, jadi gue bisa santai2 dulu nikmatin tempat yang masih kosong.

Gue lanjut main hp lagi sampai tiba-tiba ada seseorang yang duduk di depan gue, mengamati gue dengan begitu intens, sampai gue ngerasa risih dilihatin terus.

Gue udah mau pasang tampang jutek sambil ngeliatin balik orang di depan gue itu, dan pas gue memalingkan muka ke arah dia, betapa terkejutnya gue saat melihat orang yang duduk di depan gue adalah....

Mas Rian.

Kita saling liat-liatan dan nggak lama, gue yang udah canggung memulai pembicaraan duluan.

"Loh? Mas Rian? Yang tadi siang ketemu di minimarket depan kan? Bukannya tadi udah berangkat ke Jogja?"

"Iya, tadi nggak jadi naik kereta siang, soalnya ada urusan mendadak, jadinya naik kereta yang malam" jawabnya sambil sedikit senyum, tapi dengan ekspresi yang flat seperti biasa. Tapi itu dia yang bikin gemes.

Selanjutnya yang terjadi adalah, kita saling ngobrol, cerita banyak hal. Gue sampai nyeritain tentang mantan gue ke Mas Rian. Jujur gue tuh susah deket sama orang baru. Gue juga gak suka cerita2 ke orang kecuali orang itu sudah sangat dekat dan sangat gue percaya. Dan betapa terkejutnya gue ketika gue bisa sangat lancar menceritakan masalah gue ke orang yang baru gue kenal. Padahal, Mas Rian ini merespon dengan seadanya saja. Dia cenderung hanya diam dan mendengarkan, walau kadang menimpali sepatah dua patah kata. Tapi entah kenapa, gue nyaman aja cerita ke dia. Kayak gue cerita ke sahabat deket gue sendiri.

Momen-momen gue bersama mas Rian hari itu harus berakhir, karena kereta yang kita tumpangi sudah hampir sampai stasiun Solo Balapan, tempat tujuan gue. mas Rian sendiri akan turun di Jogja, jadi gue harus say good bye lebih dahulu.

Gue sudah bersiap2 untuk turun dan hendak mengambil barang gue di tempat penyimpanan atas, tapi kemudian mas Rian menawarkan bantuan untuk ngambilin barang gue dan membawakannya sampai di pintu gerbong. Padahal barang gue juga cuma satu ransel ukuran sedang dan satu tas tangan yang tidak terlalu berat, kan gue jadi baper.

"Safira, saya boleh minta nomor hp kamu?" Kata mas Rian sebelum berpisah sama gue di pintu gerbong kereta.

Guepun menyebutkan nomer hp gue yang kemudian dicatat oleh mas Rian di hpnya.

"Hati-hati, Safira. Sampai ketemu lagi" kalimat terakhir yang gue dengar dari mas Rian, dan bikin gue bergumam dalam hati,

Kayaknya, gue bakal cepat buka hati lagi.

To be continued..

You Are the Cure | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang