#cerita

2.9K 313 33
                                    

LET'S START THIS WITH THE UNFIXABLE BROKEN HEART
a y u t i e n

"Kita putus."

ITU hanya dua kata. Terdiri dari kita dan putus semata. Tidak ada kata rumit seperti andormeda, perspektif, sinusitis atau apapun itu yang enggak gua ngerti artinya. Tapi sumpah demi apapun yang ada di dunia ini, gue bener-bener kesusahan untuk mencerna apa yang Mei bilang barusan.

Apa tadi katanya? Putus? Apa itu putus?

"Aku enggak ngerti maksud kamu,"

"Aku mau kita putus, Wildan." Mei mengulang kata-katanya dengan nada yang lebih pelan, seakan-akan gue adalah alien yang baru banget bisa dan mengerti Bahasa Indonesia. "Kita udah enggak cocok."

"Enggak cocok?"

"Iya. Kamu terlalu baik buat aku," jawab Mei klise. Gue udah mau meledak.

Maksudnya terlalu baik buat dia itu gimana, sih? Bukannya bagus kalau dia punya pacar baik? Lah, memangnya dia mau pacar jahat macam gimana sampai mutusin gue segala? Yang suka clubing sampe teler? Yang suka tawuran sama sekolah sebelah? Yang suka mukulin pacarnya kalau lagi marah?

Perempuan dan sejuta jalan pikirannya. Enggak ada yang bisa menentukan dengan pasti apa yang sebenarnya mereka inginkan. Terutama gue yang kata Mamih otak kirinya cuman secuil nasi doang. Mereka bilang kepingin punya kekasih yang bisa mengerti mereka, bisa sopan ke mereka, bisa jadi pasangan yang romantis dan juga gentle. Tapi begitu mereka dapat pria semacam itu, yang mungkin tidak sempurna tapi selalu mau berusaha untuk menjadi pria ideal demi wanitanya, mereka malah memutuskan para pria tersebut dengan alasan paling bodoh di dunia, kamu terlalu baik. BLEH.

"Wildan?" Mei menyentuh lengan gue lembut, "are you okay?"

Gue ingin sekali teriak di depan mukanya lalu bilang kalau gue enggak okay sama sekali. Tapi gue tahan. Pertama, ini kami lagi di tempat umum, ya. Malu, lah, kalau harus nangis ngais-ngais minta Mei untuk jangan ninggalin gue di kedai bakso yang ramai ini. Di mana harga diri gue? Dan yang kedua, Mei itu sudah paling tidak suka dibentak dengan nada tinggi atau bahasa yang kasar. Mei gue itu rapuh banget. Hatinya lembut kayak bubur bayi. Dibentak dikit saja bisa langsung nangis. Gue ogah lah ya bikin orang yang gue sayang nangis sakit hati. Enggak tega.

"Wildan..." panggil Mei lagi.

"Aku masih enggak ngerti sama penjelasan kamu," gue akhirnya bicara, "terlalu baik gimana, sih, maksud kamu? Kamu enggak suka aku jemput setiap hari? Kamu enggak suka aku teleponin setiap malam? Kamu mau aku jadi anak nakal? Aku bisa mulai malakin anak kelas satu kalau memang kamu lebih suka bad boy sekarang," lanjut gue dan Mei malah terkekeh kecil.

"Enggak gitu, Wildan. Bukan itu maksudku."

"Terus apa? Aku enggak sebaik yang kamu kira, Mei. Aku sering kok melakukan hal-hal ilegal kayak download lagu bajakan, minum susu kemasan tanpa dikocok dulu, beli martabak malem tapi dimakan pagi. Aku kriminal, Mei. Please jangan dulu minta putus," I am beging her.

Apa? Lu mengharapkan gue ngapain memangnya pas Mei minta putus? Sok-sok tegar bilang; oh, oke... aku enggak masalah kalau itu memang mau kamu, dengan wajah dan suara cool tapi malah nangis garuk-garuk tanah seminggu kemudian? Enggak. Gue enggak gitu. Katakan lah gue jenis laki-laki yang aneh. Tapi kalau memang gue bisa minta dia buat mikir ulang soal hubungan kami dulu sebelum nanti (amit-amit) mengiyakan, ya pasti gue lakukan meskipun gue harus mulai menjatuhkan ego gue sedikit. I don't have any problem with that. I love this girl so much and i'll do everything to make her stay.

Random di Malam Minggu: Kumpulan FiksiminiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang