Part 2

1.8K 71 1
                                    

“Eh, anu Ma.” Aku menggaruk kepala bagian belakang yang sama sekali tidak gatal. “I-tu ... Salma kentut.” Serius aku enggak bohong. Mana suaranya menggelegar lagi. Itu cewek luarnya aja kalem dalamnya ..., aku belum tahu. Hus, pikiran buruk!

“Hah.”

“Enggak apa, Ma. Itu manusiawi,” ucapku santai.

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu terkekeh seraya menekan-nekan remote televisi. “Sudah rapi, memang mau ke mana?” tanya mama.

“Mau liat rumah, Ma.” aku beranjak lalu duduk di sebelahnya.

“Salma enggak diajak.” Papa tiba-tiba datang langsung duduk di sebelah kiri mama.

Sesaat aku terdiam. Hal yang paling sulit aku lakukan adalah membohongi orang tua tapi harus bagaimana lagi. Cinta tidak bisa dipaksakan. Dia akan hadir tanpa permisi bahkan pergi pun tanpa pamit.
Aku dan Salma, entah apa jadinya nanti. Berakhir tanpa cinta atau malah saling menggila. Itu pasti tidak akan terjadi. Rasanya seluruh hatiku telah penuh terisi Sania.
“Kasihan Salma capek, Pa.” Hanya itu yang dapat aku ucapkan.

“Kalau gitu Arga pergi sekarang, takutnya agak siangan nanti macet.” Aku menyalami keduanya.

“Hati-hati, Nak.” Mama berpesan.

“Iya, Ma. Assalamualaikum.”

............

Mobil meluncur di jalan aspal. Suasana pagi ibu kota Jakarta masih ramai meski tidak macet. Memang benar kota Jakarta tidak pernah tidur kecuali waktu libur panjang. Dia akan lengang seperti hatiku saat ini tanpa Sania.

Sania, seandainya aku tidak mengingat Tuhan mungkin saat ini aku telah memilih mengakhiri hidup dengan cara gantung diri atau melompat ke jurang. Karena saat ini aku hanya memiliki jiwa sedangkan batin telah mati sesaat setelah kau pergi.

Gawai berdering membuyarkan lamunanku. Kutepikan mobil dan menjawabnya.

“Hallo, Assalamualaikum.” Suara mendayu yang sangat kukenal dari seberang sana.

“Walaikumsalam. Ada apa Rin?” tanyaku langsung. Biasanya jika dia menelepon pasti ada masalah. Dia selalu datang di saat ada masalah tapi setidaknya dia tidak pergi di saat aku terpuruk, itulah sahabat.

“Kita bisa ketemu sebentar? Penting!”

“Tapi aku ....”

“Sebentar aja. Gue mohon.” Suaranya terdengar parau. Apa dia menangis?

“Lo di mana?”

“Di rumah.”

Setelah panggilan telepon berakhir cepat aku memacu mobil menuju rumah Rinda.

Rinda, dia sahabatku sejak masa SMA. Kami sudah sangat dekat seperti kakak beradik. Sempat dulu kami pacaran lalu putus dan memilih bersahabat. Terkadang persahabatan bisa lebih sakral dari percintaan. Ya, setidaknya sahabat bisa memberi rasa hangat saat cinta mulai berkarat.

“Gue mau putus aja. Rizal itu brengsek!” umpatnya dengan air mata berderai, saat aku telah tiba di rumahnya.

Aku menaikkan sebelah alis demi mendengar penuturannya.
Brengsek? Sudah pacaran delapan tahun baru sekarang bilang brengsek. “Emang Lo di apain?” tanyaku santai seraya menyandarkan punggung di sofa. Ini Sudah biasa. Rinda dan Rizal memang pasangan yang kebanyakan drama. Lebay!

“Dia menggadai rumah Gue. Tadi debt collector datang, katanya besok Gue harus keluar dari rumah ini. Lo kan tahu sendiri, ini warisan setelah kedua orang tua gue meninggal. Dan sekarang gue enggak punya tempat tinggal.” Cecar Rinda sambil menangis meraung.

“Lo yang bego. Belum nikah aja udah menyerahkan semua harta.”

“Lo kok enggak ada iba-ibanya gitu liat Gue menderita.”

“Karena bukan gue yang kehilangan rumah,” ucapku sambil terkekeh.

Mendengar ucapanku tangis Rinda semakin jadi. “Oke, oke gue bantuin. Entar aku cariin pengacara andal untuk merebut aset lo lagi. Untuk sementara waktu, lo tinggal sama Gue. Lo tahu apartemen yang gue beli buat Sania? Ini kunci duplikatnya,” cerocosku cepat yang membuat Rinda melongo.

Saat itu juga tangis Rinda hilang. “Istri lo gimana?”

“Lo jangan pura-pura enggak tahu tentang hidup Gue!” ucapku sengit sambil menjitak kepalanya. “Syaratnya satu, jangan sampai ada yang tahu lo tinggal sama gue.”

Rinda menyengir sambil meringis.

“Fix, lo sahabat paling baik yang pernah gue punya. Kalau tahu gini, mending gue  yang nikah sama lo,” ucapnya santai.

Aku mendelik dan Rinda tergelak.

......

Tepat pukul 7.35 aku sudah tiba di rumah. Kebetulan mereka sedang sarapan. Aku langsung di persilakan duduk di samping Salma.

Sedikit terpaksa dia memberiku sepiring nasi, itu pun karena di sindir papa. Tak masalah bagiku, setidaknya dia sudah berusaha. Berusaha? Tidak, dia hanya terpaksa.

Selesai sarapan aku mengobrol dengan papa dan mama di ruang tamu, sedang Salma sibuk membereskan meja. Rajin juga.

“Pa, Ma.” Kupandangi keduanya. “Arga mau ajak Salma pindah hari ini,” ucapku hati-hati.

“Kenapa buru-buru. Kalian tidak senang tinggal di sini,” lirih mama.

Rasa bersalah menyelimuti hati. Seandainya dia Sania pasti aku rela tinggal di sini lebih lama atau jika Sania ingin selamanya pun aku ikhlas.

“Kami hanya ingin mandiri.”

Wajah kedua orang tua itu seakan berat mengizinkanku membawa anaknya pergi. Tapi aku berjanji tidak akan menyakiti Salma tetapi aku juga tidak berjanji akan membahagiakannya.

“Ya udah kalau itu keputusanmu. Bagaimanapun juga, Salma sekarang tanggung jawab, Nak Arga ...” Suara wanita paruh baya itu terdengar lirih.

Papa menghela napas berat lalu, “Papa tahu Salma tidak sama dengan Sania tapi ... belajarlah untuk mencintainya,”  ujar Papa lemah.

Maaf Pa, Arga belum bisa melupakan Sania. Rasa ini terlalu besar hingga mencoba itu seakan sulit. Mungkin juga mustahil.

Aku mengangguk. “Doakan yang terbaik untuk kami, Pa, Ma.”

Setelah mendapat kesepakatan aku minta izin ke kamar, menyiapkan barang-barang untuk di bawa pindah. Tentunya barang kami tidak banyak karena kami sama-sama baru datang di rumah ini.

“Ceklek.” Suara pintu terbuka, langsung aku di suguhkan sosok Salma yang asyik dengan gawai di tempat tidur. Aku masuk lalu duduk di sofa. Beberapa saat kami saling diam.

Salma. Sebenarnya aku kasihan padanya. Dia yang tidak tahu apa-apa lalu terjebak dalam situasi rumit ini. Aku mengakui dia wanita baik-baik yang mau menuruti kemauan orang tua dan mengorbankan kariernya. Meski tetap saja dia tidak ada apa-apanya di bandingkan Sania.

“Sal ...” panggilku lirih.

“Ya,” sahutnya cuek.

“Kita pindah rumah hari ini.” Aku beranjak menuju lemari lalu mengambil koper dan langsung memasukkan semua barang-barangku.

“Hah?”

“Mama sama papa udah setuju. Tadi Gue udah ngomong sama mereka,” ucapku santai.

“Tapi, Ga. Gue belum siap pindah rumah.”

“Terserah lo. Kalau masih mau tetap di sini juga enggak masalah.” Siap enggak siap lo harus siap, Sal.

Tampak kekesalan di wajahnya lalu keluar kamar sambil mengentakkan kaki seperti anak kecil yang tidak di beri permen. Terkadang dia memang lucu.

Beberapa saat kemudian dia kembali dengan wajah yang terlipat tapi terlihat lucu di mataku. Dengan senyum mengulum aku menarik koper dan ketika sampai di depan pintu aku berbalik.

“Sal ...” Kudatarkan suara.

“Hmm,” jawab Salma cuek.

“Lo model, kan?” tanyaku serius.

“Ya kenapa?” Salma menatapku.

“Syarat jadi model itu cantik, kan?”

Seketika wajah cemberutnya berubah merona. “Iya,” ucapnya dengan suara tertahan dan wajah tersipu.

“Tapi kok Lo jelek.”

“Ngeselin Lo ya!”

Sebelum bantal di tangan Salma melayang cepat aku keluar kamar lalu menutup pintu. Ada rasa puas saat melihat wajah kesal Salma. Wajah itu selalu membuatku ingin tertawa.

............

Entah aku yang tak mengerti atau itu memang terlalu lebay tapi sedikit mengharukan. Perpisahan yang jaraknya hanya beberapa kilometer membuat orang tua dan anak itu menangis tersedu-sedu. Padahal selama ini Salma tinggal di Amerika, tentu itu lebih jauh.

“Udah dong, Sal. Lo kok cengeng gitu sih,” bujukku saat di dalam mobil.

“Gue nggak cengeng. Lo aja yang nggak ngerti!”

“Ya, maaf ....”

Next.

Because Unpredictable Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang