Part 9

2.3K 94 3
                                    

“Gue mau tidur di sini aja.”

Aku menatapnya tak percaya. “Yakin?”

Jelas saja aku tak percaya dengan ucapannya, biasanya dia selalu gengsi untuk berdekatan denganku.

“Iya. Tapi jangan mikir ngeres ya. Awas aja lo, gue tendang,” ancam Salma.

“Yaelah. Ngarep banget lo,” sahutku asal. Pastinya bertentangan dengan hasrat.

Gila aja. Dia kira aku laki-laki apaan yang tidak terpengaruh dengan wanita. Apalagi Salma. Pakaiannya itu membuat lelaki mana saja akan sulit berpaling. Piama kekecilan itu dan sedikit terbuka. Sebenarnya tanpa terbuka sudah kelihatan bentuknya.

Fix. Aku suka!

Salma menatapku sebal seraya berbalik membelakangiku.

Ok. Aku sabar menunggumu tidur, Sal. Setelahnya tersera!

***

Tepat azan subuh berkumandang sadarku pulang.

Salma masih dalam dekapan. Bernapas teratur dengan bibir seksi sedikit terbuka. Mata bulat dengan bulu mata lentik alami itu tertutup rapat. Alis ala kekinian merebah pasrah. Hidung kecil menjulang indah menghirup lambat.

“Sal, makin hari lo makin cantik aja,” gumamku pelan seraya membelai rambut hitamnya.

Sesuatu hal aneh menjalari perasaan. Entah apa, tapi mampu memacu jantung ingin lakukan sesuatu lebih padanya. Mungkin wajar, laki-laki mana pun akan berpikir demikian.

Namun, ada sesuatu yang tidak biasa setiap kali bersama. Rasa tenteram itu hadir. Bukan seperti perasaan pada Sania atau Rinda. This ia a unique feeling, yang terus memaksa untuk di dekatnya. Meski itu sebuah pertengkaran.

Entah apa rencana Tuhan. Menakdirkan dua insan tanpa rasa cinta hidup bersama. Memisahkan dari jiwa yang telah dijatuhi hati. Membuat cerita unik yang tentunya menguras emosi.

Namun, yang jelas. Setiap detik yang telah Tuhan rencanakan tidak ada yang sia-sia. Bukankah rencana Tuhan jauh lebih indah dari rencana kita. Begitu pun aku akan menikmati masa-masa ini. Bahagia dan menderita itu dua hal wajar setiap manusia yang hidup. Jika tidak ingin menderita lebih baik mati.

Tidak terasa bibirku cukup lama mendarat di keningnya. Meresapi setiap rasa, yang kini teryakini bukan sebuah nafsu birahi. Ini benar-benar murni sebuah perasaan unik itu yang mendorong.

Hingga pergerakan Salma membuatku melepaskannya. Kembali berpura-pura tidur, memejamkan mata.

Hening.

“Ga, lo harus banyak-banyak bersabar ya ...” ujar Salma pelan.

Hampir saja pertahanan jebol saat Salma membelai pipiku. Lalu oksigen terasa hilang mendadak saat benda lembut itu mendarat di pipiku.

Hanya sebentar.
Tapi cukup membuat sesak napas.

Salma yang naif!

Sudah tidak tahan lagi, aku membuka mata langsung menatapnya. Sebisa mungkin bersikap biasa.

“Ga, bangun. Jadi suami tuh harus bangun duluan. Ajak istri sholat,” omelnya seraya beranjak menuju kamar mandi. Kentara salah tingkahnya.

Aku terkekeh pelan lalu bangkit mengikuti pergerakannya. Kemudian melakukan salat bersama. Menyesap setiap bacaan dan syahdu khusyuk.

Begitu sejuk mata menatap Salma dalam balutan mukena.  Ternyata bidadari itu nyata. Dia istriku sendiri.

***

“Ga, gue pamit pergi ya?”

Salma menghampiriku di meja makan. Sesaat aku memindai penampilannya. Lagi-lagi pakaian kurang bahan.

Because Unpredictable Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang