Part 6

1.5K 80 7
                                    


Kulingkarkan tangan di pinggang ramping Salma lalu memejamkan mata. Berharap mimpi indah menjamahi malam gulita. Ini damai. Di dekat Salma semua masalah hilang begitu saja. Padahal dia bagai nenek sihir yang cerewet, selalu mengomel tidak jelas, kasar dan bertindak semaunya. Namun juga lucu.

Semenjak Salma hadir di hidupku. Dia bagai badut yang siap siaga menghibur setiap kali menatapnya. Lucu memang tapi begitulah kenyataan. Entah apa yang dia rasakan begitu pun diri ini. Mungkin ini takdir yang Tuhan pilihkan untuk kami. Entah ke depannya seperti apa tapi untuk saat ini biarlah semua berlalu seiring berputarnya waktu. Karena hanya sang waktu yang mampu menjawabnya.

Tubuh Salma mengalami pergerakan mengapungkan sadar dari terselam mimpi indah. Sejurus kemudian ....

“Kyaaa ...!”

Sebelum jeritan Salma membangunkan penghuni rumah cepat aku mendekap mulutnya. “Heh, bisa diam enggak sih?” Aku sedikit berbisik. Semoga tidak kedengaran yang lain.

“Akh ... Tolong, ini gelap ....” Suara Salma terdengar bergetar. Sepertinya dia ketakutan lalu tangannya erat memegangi pergelanganku.

Kutekan kenop lampu diatasi kepala. Cahaya menyeruak keseluruh penjuru ruangan. Wajah Salma hadir tepat beberapa senti di hadapan. Sesaat kami saling membeku tentunya tidak untuk sebongkah di dada, dia berdegup sangat kencang. Sedetik kemudian Salma beranjak menuju kamar mandi.  Mungkin dia akan buang air.

Jam persegi di atas nakas menunjukkan waktu sholat subuh sudah saatnya. Kucoba bangkit tapi sulit. Perut terasa ngilu hingga kebagian jantung saat bergerak.

“Sal ...” panggilku ingin meminta bantuannya.

“Bentar.”

“Gue mau sholat, bantuin dong ke kamar mandi.”

Salma keluar dari dalam kamar mandi. Tanpa berucap langsung memapahku menuju kamar mandi.

“Lo enggak ikutan sholat?” tanyaku.

“Enggak,” jawabnya singkat.

“Kenapa?” Sengaja aku memancing.

“Gue enggak mau aja,” tukasnya.

“Sal, sholat itu wajib. Dosa lho ninggalin sholat.” Kutatap Salma mencoba menyelami hatinya. Aku yakin masih ada iman di sana hanya saja kekhilafan menutupinya.

Meski dalam perjanjian itu kita hanya sepasang suami-istri sesaat tapi aku tetap ingin menjadi suami yang baik. Menuntun kamu kembali ke jalan-Nya. Mungkin aku juga kekurangan ilmu agama tapi setidaknya kewajiban tak pernah lepas sepanjang hidup, dan harapan itu juga akan terjadi padamu, Sal.

Aku memulai mengambil air wudhu dan Salma hanya tertunduk menatap keset. Apa sekarang dia berpikir bahwa keset itu menarik. Atau ingin memiliki pakaian bermotif keset. Terkadang wanita memang menyukai hal-hal berbau keanehan. Tidak dapat dipungkiri bahwa wanita memang makhluk aneh!

“Sejak kapan lo enggak pernah sholat?”tanyaku selesai mengambil air wudhu.

“Udah lama. Gue juga lupa kapan tepatnya ...” lirih Salma.

Aku menarik napas dalam lalu melepas pelan. Sudah terduga jawabnya. Terkadang kita sebagai makhluk sering kali lupa dengan pemilik diri. Segala kemewahan dan pencapaian dianggap karena jerih payah sendiri. Sering kali aku menolak pepatah mengatakan tidak ada usaha yang membohongi hasil. Percayalah jika pun sepanjang hidup dihabiskan untuk berusaha tapi jika Tuhan tidak menghendaki niscaya semua itu hanya sia-sia belaka.

Aku menaiki ranjang lalu duduk bersandar dengan kaki bersimpuh. Begitu baiknya Allah. Jika seorang hamba tidak mampu mengerjakan sholat berdiri maka diizinkan duduk, jika tidak mampu duduk maka boleh sambil berbaring, dan jika tidak mampu juga maka dibolehkan dengan isyarat mata. Sholat adalah tiang agama, barang siapa yang meninggalkannya sama saja meruntuhkan agama.

“Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, dia sukses dan berhasil dan jika shalatnya rusak, dia sangat rugi" (HR. Nasai dan Turmudzi)

Banyak dalil yang menjelaskan keutamaan sholat tapi entah bagaimana sayton membujuk kita hingga melalaikannya. Dan cobaan terbesar itu adalah memerangi diri sendiri agar tidak malas.

Senyumku mengembang sempurna menatap sosok Salma begitu anggun dalam balutan mukena putih. Dari hari pertama bertemu dan saat inilah wajah Salma memancarkan aura kecantikan yang entah dari mana datangnya, atau bersembunyi di mana selama ini.

Sebelum mengangkat takbiratul ihram kutatap Salma yang tampak kebingungan. Dia hanya menggaruk-garuk kepala. “Katanya mau sholat.”

“Anu ... G-gue ....” Salma tergugu.

Aku menatapnya curiga. Jangan bilang lupa niat.

“G-gue ... lupa, niatnya apa ....”

Sudah kuduga!

“Ikutin gue,” ucapku lalu mempraktikkan bacaan niat sholat. “Ushallii fardhash-shubhi rak’ataini mustaqbilal-qiblati adaa’an lillahi ta’aalaa.”

Salma mencoba mengulangnya.

“Itu kalau lo sholat sendirian, kalau jadi ma’mun maka harus mengganti adaa’an dengan ma’muuman.” Lanjutku, “Dan yang terpenting niat di dalam hati saat lo mengangkat takbiratul ihram. Khusus dihati niatnya cukup bahasa yang kita ngerti. Jadi itu fungsinya meniatkan hati kita ikut sholat bukannya kelayapan memikirkan yang lain,” jelasku panjang.

Salma mengangguk-angguk tanda mengerti. Sungguh dia tampak menggemaskan.

.......

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.”

Setiap kali menghubungi nomor Rinda tapi berkali-kali pula tidak aktif. Entah ke mana dia? Apa dia pergi karena merasa bersalah atau hal lain. Sedangkan rumahnya sudah proses pengaduan ke pengadilan oleh pengacara. Jika dia tidak ada maka akan sulit memprosesnya.

“Hallo Assalamualaikum, Pak Arga.” Terdengar suara wanita seperti mendesah di seberang sana. Itu suara sekretarisku di kantor, sengaja menghubunginya untuk mencari info Rinda.

“Walaikumsalam. Sha, bisa bicara dengan Rinda?”

“Maaf Pak, semenjak bapak tidak masuk semenjak itu pula bu Rinda tidak masuk,” jelasnya.

Ke mana Rinda? “Oke. Kalau ada kabar Rinda tolong hubungi saya. Satu lagi tolong handle semua kerjaan saya.”

“Baik, Pak.” Terdengar desahan napasnya di seberang sana. Pasti dia sangat keberatan dengan kerjaanku yang menumpuk. Mau bagaimana lagi itu adalah tugas.

Selesai menelepon kembali bayangan Rinda berkelebat. Sudah sepuluh tahun terakhir ini kami bersama dan sekarang dia pergi tanpa tahu ke mana. Ini membuatku merasa kehilangan.

Pintu terbuka menampilkan sosok Salma yang langsung mendarat di sofa. Tentunya bayang Rinda langsung sirna.

“Kenapa, Sal?” tanyaku melihat wajahnya tertekuk.

“Mereka tuh ngeledekin gue terus!”

“Sal, coba ganti baju deh itu baju lho terbuka gitu,” tunjukku. Pakaiannya tidak sopan. Hanya celana pendek dan kaus kebesaran. Oke, dia memang tampak seksi tapi tetap tidak sopan di hadapan orang tua.

“Jangan bilang lo nafsu ya liat gue?” Salma mendekat seraya mengedipkan mata.

Dasar Salma. Beraninya di saat aku tidak bisa apa-apa. Coba saja di saat aku sehat wal afiat.

“Apa lo lagi mikir gue bakalan perkosa lo?” Salma tersenyum nakal. Sialnya itu berhasil membuat degup jantungku tidak karuan. Sesaat aku membuang pandangan lalu netra menangkap sosok Sania tergantung disisi dinding. Itu membuat pikiran aneh menghilang berganti gemuruh kesedihan di dada.

“Sal ....”

“Apa,” ucapnya seperti wanita penggoda. Namun sekarang aku tidak terpengaruh ... tapi sedikit.

“Gue mau cerita tapi lo harus baring di sebuah gue, sekarang.”

“Ogah! Bilang aja lo cari kesempatan dan pastinya tidak tahan dengan pesona seorang Salma,” ucapnya penuh kepongahan dan tawa kemenangan. Aneh!

“Ya udah, kalo lo enggak mau gue tinggal teriak biar mama dan papa dengar. Gue teriak nih ya.” Aku mengangakan mulut bersiap untuk teriak. Tentunya ini hanya trik. Malu-maluin jika benar aku berteriak hanya karena Salma tidak mau berbaring di sebelahku.

“Oke! Iya!” Salma mendengus lalu berbaring di sebelahku. Wajahnya dilipat berkali-kali lipat.

Arga dilawan!

Cepat aku melingkarkan tangan di pinggangnya. Namun, langsung ditepis.

“Jangan cari kesempatan!” Suaranya ditekan dengan gigi saling beradu.

“Yaelah Sal, gue butuh sandaran. Ini ceritanya sedih banget. Pokoknya bisa-bisa membuat lo nangis Bombai. Ya kalau Lo nggak mau, gue tinggal ngadu aja.” Aku menyeringai penuh kemenangan.

“Dasar tukang ngadu!”

“Gitu dong.” Aku kembali memeluknya menenggelamkan kepala diceruk lehernya. Ini bukan sebuah dosa. Lah dia istriku, wajar dong!

“Katanya mau cerita!” Salma tampak kesal meski aku mendengar detak jantungnya kian kencang. Dia terlalu gugup untuk sekedar dipeluk lelaki sekeren Arga.

“Sabar kali!” aku terkekeh pelan.

Hening.

“Sal, Sebenarnya ....”


Next





Because Unpredictable Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang