“Saya terima nikah Salma Adinda binti Biyantara dengan mas kawin seperangkat alat Shalat dibayar tunai.” Kuucapkan kata sakral itu dalam satu tarikan napas.
“Bagaimana, sah?”
“Sah!”
Lalu ucapan hamdalah menggema memenuhi ruangan. Ruangan yang indah sesuai keinginan wanita yang kucintai. Nuansa biru muda berpadu putih dengan bunga melati menghiasi sekeliling ruangan. Dan wanita yang tengah mencium punggung tanganku ini, bukan dia!
Sania, dia wanita sederhana dengan tutur kata lembut dan tatapannya teduh. Aku selalu merasa damai setiap kali di dekatnya. Sebelumnya kami baik-baik saja hingga tepat dua hari sebelum pernikahan dia pergi dari rumah, pergi dariku tapi tetap tinggal di hati.
Seluruh anak buahku kukerahkan untuk mencari Sania tapi dalam waktu dua hari semua sia-sia. Aku pun tidak tinggal diam terus mencarinya ke tempat-tempat yang biasa kami kunjungi dan bertanya pada semua teman-temannya.
Ini memang salahku, akhir-akhir ini aku terlalu sibuk sehingga tidak sempat memperhatikannya. Sekarang aku menyesal!
Aku frustrasi ingin menggagalkan pernikahan ini tapi semua undangan sudah tersebar dan jika itu terjadi maka hancurlah nama baikku, itu akan berakibat buruk untuk Bisnisku.
Dan akhirnya wanita yang tengah mencium punggung tanganku inilah istriku. Adik kandung Sania yang selama ini tinggal di Amerika, dia model yang sok cantik. Sungguh aku tidak tertarik!
Bagiku, Salma hanya topeng penutup aib!
........
Hari itu orang tua Sania menelepon, mengabarkan akan bertemu Salma pengganti Sania. Oh tidak, Sania tidak tergantikan di hatiku. Salma hanya topeng!
Tanpa salam. Wanita dengan setelan, sorry ‘orang gila' masuk ke dalam rumah orang tua Sania. Bahkan ayah dan bundaku tak disapanya. Semoga bukan dia adiknya Sania.
Namun, harapanku pupus saat calon mertuaku memperkenalkannya pada kami.
“Maaf sebelumnya, ini anak saya yang akan menikah dengan Arga jika kalian berkenan,” ucap Papanya Sania.
“Baiklah. Ini memang sudah kesalahan kalian karena Sania telah melarikan diri dari pernikahan.” Wajah Ayah berubah mengeras. Kecewa itu pasti.
“Bagaimana, Arga?” tanya Bunda.
Kutatap bunda dengan sendu. Sesungguhnya aku tidak ingin, cinta ini masih melekat kuat untuk Sania. Hingga tidak ada celah sedikit pun untuk wanita lain kecuali bunda. Rasanya lebih baik hidup seorang diri selamanya dari pada menikahi wanita lain. Namun, aku tidak boleh egois. Menjaga nama baik keluarga itu tanggung jawab, menjaga nama baik perusahaan itu juga tanggung jawab. Dan akhirnya, “Apa yang bisa aku lakuin, Bun?”
Kulirik wanita itu sekilas. Ah, dia benar-benar berbeda dengan Sania tapi apa boleh buat. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan kekacauan ini hanya dia.
Aku yakin bukan hanya aku yang tersiksa tapi juga dia dan semua keluarga di kedua belah pihak. Baiklah akan kukorbankan perasaan ini.
..........
Selama 25 tahun, inilah kali pertama aku merasakan sakit yang teramat dalam. Separuh jiwa pergi, setengah napas tak menghela, dan sesuatu yang penting di rongga dada telah menghilang pergi entah ke mana. Mungkin inilah yang dikatakan sakit tak berdarah.
Sepulang dari rumah Sania, aku langsung mencarinya ke mana-mana. Tidak peduli dengan batinku yang letih yang penting obat jiwaku segera bertemu. Namun, tetap sia-sia.
Sania pergi bagai ditelan bumi, menghilang tanpa jejak. Namun dia berhasil menghancurkanku.
Pukul 1 dini hari aku masih di perjalanan mencari Sania. Lalu kuhentikan mobil di atas jembatan dan duduk di tepiannya. Aku benar-benar frustrasi.
“Saaniiaaa!” Aku berteriak sekuat tenaga berharap dia mendengar lalu hanya embusan angin dingin yang membalas.
“Sania, aku mohon pulanglah.” Kini air mata yang selama ini pantang aku keluarkan telah mengalir sempurna di kedua sudut mata.
“Sania pulanglah, aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji akan memperhatikanmu. Aku janji akan mengabulkan semua keinginanmu tapi pulanglah.” Aku tersedu-sedu seraya menyentuh dada kiri yang terasa ditikam. Sakit sungguh menyesakkan.
Sania, meski esok aku telah menikahi adikmu, tapi percayalah aku belum menyerah!
..........
Keheningan terjadi saat kami memasuki kamar pengantin. Aku memilih duduk bersandar di sofa dan dia, aku tidak peduli.
Malam yang seharusnya menjadi malam paling membahagiakan bagi setiap pengantin, tapi bagiku ini adalah malam paling menyedihkan yang pernah ada.
Bagaimana tidak, impian hidup bahagia dan bercumbu mesra itu hanya pada Sania bukan wanita lain. Hasratku sebagai lelaki telah mati untuk saat ini.
Seandainya kamu ada di sini Sania, pasti malam ini kita akan berbahagia. Mencurahkan segala rindu, menikmati manisnya cinta, hanya ada kita berdua.
Tak terasa setitik bening meluncur lagi di sudut mata.
“Ga, Gue tahu kita enggak saling cinta. Boleh Gue minta sesuatu?” Salma bertanya pelan.
Cepatku sapu air mata lalu menoleh ke arahnya yang tengah duduk berjuntai di tepi ranjang. “Katakan.”
“Jika dalam 6 bulan kita tidak memiliki kecocokan, lo boleh nikah sama perempuan lain. Dan gue sama pria lain.”
“Oke.”
“Terus, Lo juga enggak boleh tidur satu kamar sama Gue.”
Itu yang kuinginkan. “Ada lagi?”
“Lo sama Gue bebas melakukan apa pun tanpa saling melarang selama itu baik.”
Itu juga keinginanku. “Oke.”
“Lo enggak punya persyaratan?”
“Udah lo borong semua.” Aku terkekeh demi perjanjian konyol yang memang kami inginkan.
Namun, demi menjaga hati orang tua. “Gue Cuma punya syarat sedikit.”
“Apa?” Dia menatapku.
“... Kalau di depan orang tua, kita harus kelihatan mesra. Bicara normal setiap harinya, dan bukan saling membenci.” Kutatap tepat di manik matanya.
Kami saling terpaku, satu sama lain. Entah karena apa. Lalu,
“... Baiklah.”
........
Setelah mandi aku langsung mengerjakan shalat magrib yang waktunya tinggal sedikit.
Setelahnya,
sesaat aku terpaku melihat Salma yang sedang terlelap di tempat tidur dengan selimut berantakan.
Aku menghela napas lalu menaikkan selimut hingga menutupi tubuhnya. Ternyata dia lebih cantik tanpa riasan apa pun.
Lalu azan Isya berkumandang, aku langsung melaksanakan shalat. Sebenarnya aku ingin membangun Salma, tapi perjanjian itu. Ya sudah, kita masing-masing saja.
Selesai shalat aku berbaring di sofa dengan selimut yang telah tersedia. Tubuhku sangat lelah tapi tetap malam ini aku sulit tertidur. Bayangan Sania terus bergelayut di kepala. Entah bagaimana caranya aku menemukannya atau meluapkannya. Dua-duanya sangat sulit terlaksana.
Jam tiga aku baru bisa tertidur dan satu jam kemudian aku telah kembali bangun karena azan subuh telah berkumandang.
Aku bangkit lalu terkekeh pelan melihat Salma di atas tempat tidur.
“Katanya model tapi tidur kayak kebo. Ngorok juga lasak,” gumamku pelan masih dengan terkekeh.
Selesai shalat subuh, seperti biasa aku langsung membaca surah Waqiah. Setidaknya ini dapat menenangkanku. Sejenak melupakan tentang Sania.
Hujung mataku melirik Salma sedang mengintip dari balik selimut. Sesaat aku terkekeh pelan lalu melanjutkan mengaji lagi.
Setelah mengaji aku berpaling ke arahnya. Namun, dia memejamkan mata. Aku tahu dia pura-pura.
“Kenapa cuma ngintip?” tegurku mengulum senyum.
Beberapa saat aku berdiri di samping ranjang memperhatikan tingkah konyolnya. Lalu dengan wajah kucing tertangkap basah mencuri ikan, dia menyibak selimut.
Hampir saja tawaku pecah tapi masih bisa ditahan. “Bangunlah ini udah pagi.”
“Eh ... I-iya ...” lirihnya dengan wajah aneh. Serius aku ingin terbahak melihatnya.
“Ya udah, gue pergi dulu. Mau liat rumah buat kita,” ucapku seraya mengganti pakaiannya shalat dengan kemeja dan celana kain berwarna hitam, tanpa memedulikanya yang cepat memalingkan muka.
“Sal ...” panggilku masih dengan senyum mengulum.
“Apa?” Wajahnya Semerah tomat.
“Berangkat ya,”
“Iya,” jawabnya singkat, masih memalingkan wajah.
Aku beranjak meninggalkannya lalu terbahak-bahak setelah menutup pintu kamar. Sungguh wajahnya lebih lucu dari pada badut.
“Ada apa, Nak Arga?”
O-o.Next.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Unpredictable Wedding (TERBIT)
RomanceThe Unpredictable Wedding adalah naskah kolaborasi dengan Akun 'Rina Kristavina100218'. Dia menulis pov Salma, dan saya menulis pov Arga. 🍂🍂🍂 Dua hari menjelang pernikahan Sania calon istri Arga Pangalila kabur dari rumah. Salma Adinda, adik kand...