Part 3

1.8K 82 3
                                    



“Ya, maaf ....”

“Gue enggak butuh, maaf lo!”

“Lah jadi?” tanyaku bingung. Wanita itu memang aneh. Dibaikin salah dikeselin juga salah. Niatnya pengen nenangin malah dimarahi.

“Diam!” bentaknya.

“Salah lagi,” gumamku.

Setelahnya aku hanya diam jika bicara dapat dipastikan akan ada adegan mengerikan. Salma juga diam, tangisnya pun sudah pergi tapi kesedihan diraut wajah belum menghilang. Entah karena apa dia bisa sesedih ini. Kadang wanita memang suka melebih-lebihkan sesuatu yang kurang. Pada akhirnya lelaki lah yang salah.

Mobil terparkir di depan rumah mewah di kawasan Menteng Jakarta pusat. Sesaat aku terdiam karena sosok Sania tiba-tiba hadir mengusik perasaan. Masih hangat dalam ingatan saat kami membeli rumah ini. Sania bilang ini cocok seperti rumah impiannya. Aku sempat bermimpi akan hidup bahagia bersamanya dan anak-anak kami di sini. Dan mimpi itu belum berakhir.

Moodku tiba-tiba memburuk. “Cepat masuk!” Kubentak Salma.

“Di mana kamar gue?” tanya Salma langsung.

“Di sana.” kutunjuk kamar di bagain tengah.

“Oke. Awas lo macam-macam!” ancamnya sambil menjauhkan tubuh.

Berasa cantik amat tuh cewek. “Dih, ogah. Lo bukan tipe gue, Sal.”

“Awas kalau lo suka beneran!”

“Enggak akan. Gue cuma cinta sama Sania.” Hati gue udah penuh sama Sania, Sal. Gue orang yang paling susah jatuh cinta tapi gue juga susah melupakan dan melepaskan.

Melihat wajahku berubah sedih Salma  mengiba. “Sabar ya, Ga. Pasti Sania bisa ditemukan.” Salma mengelus punggungku. Entah mengapa saat tangan Salma menyentuh punggungku saat itu juga perasaan menjadi tenang. Ah, mungkin aku hanya butuh teman.

“Thank’s, Sal.”

........

“Jadi lo mau tinggal di mana lagi?”

“Kalau di rumah yang lo tinggali sama Salma, boleh gue numpang di sana?”

“Emang apa alasan lo nggak mau tinggal di apartemen itu,” tanyaku lembut.

Rinda terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Sedetik kemudian cairan bening menetes dari setiap sudut mata bulat wanita itu.

“Hei, lo kok sedih gitu. Cerita dong, kita kan sahabat.”

“Gue takut, Ga. Ingatan tentang kematian mama karena jatuh dari balkon apartemen selalu menghantui gue. Makanya gue paling takut dengan ketinggian,” cerita Rinda dengan air mata yang semakin deras.

Kupegangi pundak Rinda berharap kekuatan hadir di hatinya. “Ya udah nggak apa-apa lo tinggal sama gue. Gue yakin Salma juga nggak akan keberatan. Tapi lo harus janji nggak boleh sedih lagi.” Salma juga tidak berhak melarang keinginanku.

Rinda menghapus air mata lalu tersenyum memaksa. “Makasih ya, Ga. Maaf gue sering ngerepotin lo  ...” Suaranya terdengar lirih.

“Hei sejak kapan seorang Rinda bisa semelow ini.”

“Lo bener.” Rinda tersenyum lalu kembali menjadi Rinda yang ceria.

Setelah barang-barang Rinda sudah masuk ke dalam mobil kami pun meluncur menuju supermarket untuk membeli keperluan satu bulan ke depan.

Rinda cukup membantu, dia sangat lihai berbelanja bahan keperluanku pun tahu. Rinda tampak ceria bahkan tak terlihat habis menangis. Siapa pun di dekatnya pasti akan tertular keceriaan Padahal jauh di dalam hati banyak luka menganga tapi tidak pernah ditampilkan. Rinda gadis kuat dan mandiri. Mamanya meninggal jatuh dari balkon saat masih kecil dan papanya meninggal dua tahun lalu karena lambung bocor. Semenjak saat itu dia hidup sendiri, tidak bergantung pada siapa pun bahkan Rizal lah yang sering menyusahkan.

Because Unpredictable Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang