takdir kita tidak berubah.

1.7K 481 10
                                    










Dulu, saya pikir semesta memang memberikan Felix untuk saya. Dulu, saya pikir Felix adalah laki-laki terakhir dihidup saya. Dulu, saya pikir Felix benar-benar mencintai saya. Dulu, saya pikir saya akan menjadi yang terakhir bagi Felix.



Dan sekarang, saya sadar telah membodohi diri sendiri selama bertahun-tahun. Mengelabui diri sendiri dengan harapan-harapan palsu yang saya ciptakan sendiri. Menyakiti diri sendiri hanya karena kami tidak pernah terlibat pertengkaran yang berarti, bermakna kami akan bersama selamanya dengan keadaan saling menyayangi layaknya kisah dongeng luar negri.


Nyatanya, saya dan dia hanya sebuah kisah yang akan dikenang. Sebuah kisah pemanis kehidupan SMA dan awal perkuliahan saya dan dia.













Dua hari setelah saya bertemu kak Doyeon, mama dengan hebohnya masuk ke kamar saya, "Ayahnya jadi tersangka!"

Saat itu saya yang panik langsung berlari ke ruang keluarga, duduk di depan televisi dengan volume penuh. Benar, ayahnya,

jadi tersangka.

Dulu, Felix pernah menceritakan ayahnya kepada saya. Ada sorot kekaguman dari matanya serta bibir yang tak henti-hentinya tersenyum saat ia bercerita. Sekelebat kata-katanya mulai menghantui saya.

"Beliau udah jadi panutan aku dari kecil. Beliau, Papa yang hebat..."


Saya jadi gelisah, tidak tenang, seperti ada sesuatu yang mengganjal hati saya membuat saya merasa sangat tidak nyaman.


Bagaimana keadaan Felix sekarang? Dimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai membombardir kepala saya.



Teringat akan nomor yang diberikan kak Doyeon, saya berlari mengambil ponsel saya dikamar dan mengobrak-abrik tas saya mencari kertas yang katanya nomor baru Felix itu.




Pada dering ketiga, panggilan saya tak kunjung diangkat membuat saya hampir menyerah. Saya bahkan sudah meyakinkan diri saya sendiri untuk tidak panik karena Felix dan semua yang menyangkut tentang dia bukan urusan saya lagi. Namun, tiba-tiba laki-laki itu menerima mengangkat panggilan saya, dengan beberapa detik pertama tidak terdengar apa-apa.



Saya juga menjadi diam. Lima menit kemudian, gumaman Felix terdengar samar di telinga saya. "Halo? Felix???"



"Shhhh..dingin..."


"Kamu dimana??????" tanya saya panik dan tanpa sadar meninggikan intonasi suara. Saya memiringkan kepala, menjepit ponsel saya di antara leher dan bahu sembari berusaha mencari cardigan namun sialnya lemari saya malah terlihat kosong saat itu. Alhasil, saya segera berlari ke bawah, berpamitan dengan berteriak lalu mencari angkutan umum yang sekiranya bisa membawa saya ke rumah Felix dengan cepat.




Sesampainya saya disana, gerbang terbuka lebar. Beberapa mobil yang seingat saya biasanya terparkir kini sudah tidak ada lagi di tempatnya. Melihat pintu rumah yang juga terbuka membuat saya tanpa pikir panjang langsung masuk.



Beberapa bagian rumah tampak kosong membuat saya saat itu sudah sadar kalau mobil maupun barang-barang yang tidak ada itu sudah disita oleh pihak KPK.



Karena saya tidak tau dimana letak kamar Felix, saya terus berjalan mengikuti hati nurani saya hingga tibalah didepan sebuah kamar dengan pintu sedikit terbuka berwarna hitam di lantai dua. Saat mendengar lenguhan Felix, saya makin yakin kalau kamar tersebut adalah kamar Felix.


Dengan yakin, saya menyentuh gagang pintu kemudian mendorongnya pelan. Namun kemudian, keyakinan saya, kepanikan saya, terasa sia-sia.


Meskipun hanya terbuka sedikit, saya yakin dikamar tersebut ada Felix.




Dan Nancy.









Benar. Bukankah saya sudah tidak diperlukan? Bukankah posisi saya sudah digantikan oleh Nancy? Ralat, bukankah Nancy sudah mendapatkan posisi yang seharusnya memang dia dapatkan? Lalu, mengapa saya harus repot repot berlari dengan bodohnya ke rumah itu? Padahal, lagi-lagi malah saya yang makin tersakiti.

Seharusnya saya memang tidak menghubungi nomor itu, karena takdir saya dan dia memang tidak akan pernah berubah. Karena saya dan dia hanya sampai sebatas kata 'pernah' .


Karena membelakangi pintu, saya tidak bisa melihat wajah Nancy. Yang saya lihat, disana ada Felix tengah terbaring di kasurnya. Dengan kaos putih yang sudah basah akan keringat dan handuk di keningnya. Serta, telapak tangannya yang menggenggam erat tangan Nancy.




Saya mundur perlahan. Berusaha tidak menimbulkan suara yang akan mengganggu mereka, apalagi isakan saya yang sudah mati-matian saya tahan.




Tidak apa-apa. Setidaknya, setelah sekian lama, saya dapat melihat wajah Felix lagi secara langsung.





































a/n:


Big thankseuuu kepada sayangq cinta q uuuwin yang udah buat manip mereka GEMES BGT GUA WOYYY HNGGG jadi tida rela book ini akan segera berakhir :"))))

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Big thankseuuu kepada sayangq cinta q uuuwin yang udah buat manip mereka GEMES BGT GUA WOYYY HNGGG jadi tida rela book ini akan segera berakhir :"))))

Biar Saya Ceritakan | Felix lee. [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang