Nabila kini mengetahui kebenaran yang telah disimpan rapi oleh Mamanya selama 17 tahun ini. Dia sedih sekaligus prihatin atas apa yang menimpa Mamanya saat itu. Mungkin saat diposisi Mamanya itu dia akan melakukan hal yang sama. Tetapi entahlah memikirkannya saja Nabila tidak sanggup apalagi sampai menjalaninya. Bayangkan saja saat anak yang selama ini di tunggu-tunggu lahir, namun saat itu juga orang yang sangat dicintai pergi untuk selama-lamanya. Sakit bukan?
"Masih jauh nek?" tanya Nabila kepada neneknya. Iya Nabila saat ini sedang dalam perjalanan untuk ke makam ayahnya.
"Sebentar lagi Nabila, makamnya di depan sana," Nabila pun mengangguk dan melanjutkan perjalanan.
Nabila sedari tadi menahan air matanya yang ingin meluncur dari matanya. Ia sebenarnya tidak sanggup untuk melihat makam ayahnya, namun apa boleh buat rasa rindu itu melawan rasa sakitnya.
"Ini makamnya Bil."
Nabila mematung, kakinya lemas seperti tidak bisa lagi menopang tubuhnya. Di bawah gundukan tanah itu ayahnya beristirahat.
"A-ayah," Nabila terduduk lemas sambil air mata yang meluncur mulus dari matanya. Dia tidak bisa menahannya ia kalah, iya dia kalah dengan rasa rindunya kepada ayahnya.
"Ayah ... Nabila rindu ayah, Nabila rindu ayah," Nabila pun tidak sanggup lagi ia menangis sejadi-jadinya sambil memeluk nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Neneknya pun hanya memandangi cucunya itu.
"Ayah, ayah ini Nabila. Ini Nabila," Nabila pun memandangi nisan ayahnya dan sesekali menciumnya.
Muhammad Umar nama itu tertulis kokoh di atas kayu berwarna putih kekuningan itu.
Nabila pun beralih memandang tanggal wafat ayahnya, 03 September 2001. Nabila tak kuasa menahan tangisnya, tanggal wafat itu sama seperti tanggal ulang tahunnya.
"Ayah, apa ayah bahagia disana? Ayah sudah bertemu sama Allah? Ayah tahu Nabila sekarang sudah besar," Nabila mengusap air matanya.
"Ayah Nabila sangat ingin bertemu ayah, Nabila sangat merindukan ayah. Kenapa ayah pergi secepat ini? apa ayah nggak mau melihat Nabila. Ayah jawab Nabila ayah," tangis Nabila kembali tumpah rasanya ada ribuan batu yang tepat menghujam di dadanya, sesak itu yang ia rasa.
"Nabila istighfar, ayah kamu udah bahagia disana," ucap nenek Nabila sambil memeluk Nabila yang masih menangis.
"Aku mau ketemu ayah nek, aku mau ketemu ayah."
Nabila tidak kuasa menahan tangisnya, rasa rindu yang ia pendam selama 17 tahun ini dia tumpahkan di depan makam ayahnya. Dia menangis di depan gundukan tanah yang telah 17 tahun berada disana.
"Maut, jodoh dan rezeki itu sudah di atur sama Allah Bil," ucap Mutia-nenek Nabila menenangkan cucunya.
"Ayah kamu pasti sudah bahagia, sekarang dia pasti pingin lihat Nabila bahagia," Mutia pun menghapus air mata Nabila.
"Nek, aku rindu sama ayah," Nabila pun memeluk neneknya sambil sesenggukan menahan tangisnya.
"Ya Allah aku rindu ayahku, aku sangat merindukannya." Batin Nabila.
"Sekarang nenek pingin kamu sadarkan ibumu, dia pasti sangat terpukul dengan kejadian 17 tahun lalu. Kamu harus menyadarkan ibumu," ucap Mutia sambil memandang lekat ke Nabila.
"Apa benar yang membunuh ayah itu orang Islam nek?" Mutia pun langsung menggeleng.
"Bukan nak, bukan. Itu sama sekali nggak benar, mereka itu sesat nak. Allah sangat mencintai perdamaian tidak mungkin Dia menyuruh hamba-Nya untuk melakukan perbuatan keji seperti itu. Kamu percaya kan ucapan nenek?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Iman yang Hilang [SUDAH TERBIT]
SpiritualCahaya iman? Apa yang terlintas di pikiran mu ketika mendengar kata-kata ini? Pasti iman Islam bukan? Ya itu benar sekali! Cerita ini mengisahkan tentang bagaimana seorang Nabila berjuang untuk menikmati indahnya cahaya iman itu. Ya cahaya yang tel...