Chap. 1

12.8K 236 17
                                    

Chap. 1

Udara dingin pagi itu menusuk tulang. Kabut tipis-tipis membayang, berlomba dengan sinar matahari yang baru muncul di permukaan. Kemilau hijau pemandangan batang padi di hamparan tanah desa, menjadi panorama indah yang tak akan dilupakan siapa saja yang berkunjung ke sana. Desa kecil dan asri, belum tersentuh modernitas. Penduduknya tekun bekerja, ramah-ramah dan santun, serta tak sungkan membantu sama lain.

Tapi prinsip yang dipegang teguh oleh mereka, semenjak nenek moyang mereka  menapaki tanah Madura hingga masa kini, di mana wajah bumi bersolek nan cantik, tak pernah pudar dan lekang oleh zaman. Yakni, harga diri sebagai seorang lelaki hanya dua. Saudara dan wanita. Yang harus dijunjung tinggi, hingga raga menemui mati.

Nun jauh di salah satu sudut desa itu, terdengar kesibukan laiknya rumah-rumah lainnya. Terdengar suara-suara minyak meletup menggoreng sesuatu di dalamnya, bunyi-bunyi kran air mengucur, serta celoteh penghuni rumah.

Seorang wanita, menepuk-nepuk sebentar baju depannya yang terkena tumpahan garam akibat ia terburu-buru tadi, sebelum berjalan menuju sebuah pintu yang tertutup rapat lalu mengetuknya.

Satu, dua kali masih terdengar pelan.

Lama-lama, ketukan itu semakin keras tatkala si penghuni kamar tak lekas membuka pintunya.

"Adi, tangngih! Dulih asarap! (Adi, bangun. Ayo sarapan!)" Suara wanita itu mencoba membangunkan si empunya kamar.

Tak seberapa lama kemudian, pintu terbuka, menampilkan wajah kusut seorang pemuda. Sorot matanya sayu, dan gestur tubuhnya terlihat lemas.

"Bedeh apah, Mak? (Ada apa, Mak?)" Dengan suara serak khas orang bangun tidur, ia menatap dengan mata separuh tertutup.

"Ayo sarapan. Bapakmu udah nungguin dari tadi."

Dengan langkah gontai, Adi mengikuti langkah-langkah mamaknya menuju dapur. Sebelum itu, ia menyempatkan diri membasuh mukanya di kamar mandi.

Dapur yang disulap menjadi sekaligus ruang makan itu, terpisah dari rumah utama. Sebagaimana lazimnya rumah-rumah masyarakat Madura, bagian-bagian rumah terpisah satu sama lain.

Rumah utama biasanya hanya terdiri dari beberapa kamar, tempat untuk tidur. Lalu ada bilik-bilik yang terbuat dari bambu, berupa kamar mandi plus sumur dan dapur. Sedangkan surau (biasanya terbuat dari dinding bambu yang dianyam, tapi tak jarang juga yang sudah ditembok), masih berada di satu halaman sama yang cukup luas. Pepohonan semacam rambutan dan mangga, menempati beberapa sudut kosong dari pekarangan rumah itu. Rumah-rumah Madura memang memiliki khas tersendiri. Tanah sepetak yang cukup luas, hanya ditempati satu keluarga, tak heran jika satu rumah dengan rumah lain berjarak cukup jauh.

Adi mengguyur wajahnya dengan air yang ditimbanya dari sumur. Mengerjap beberapa saat sebelum mengusap wajahnya yang basah. Ia lalu masuk ke dalam dapur, tampaklah wajah sang bapak mengerut menatap dirinya.

Adi lantas duduk di lencak (dipan yang terbuat dari bambu dan kayu) berhadapan dengan bapaknya. Lalu tanpa berkata-kata, ia menyendokkan beberapa centong nasi ke atas piring yang diulurkan mamaknya.

"Pulang jam berapa tadi malam?"

Suara bapak membuat Adi mendongak. Ia berdehem sebentar, mengunyah sayur bayam yang baru dimasukkan ke dalam mulutnya, sebelum menjawab,

"Jam dua."

Sudah Adi tebak, bapaknya geleng-geleng kepala.

"Bapak sudah lelah mengingatkan perilakumu itu. Sampai kapan kamu mau begini, Adi? Bapak sudah tua, mamakmu juga. Sebentar lagi kami mungkin akan meninggal, sedangkan kamu tidak ada niatan membangun rumah tangga ...."

Lelaki PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang