Chap. 9

3K 93 5
                                    

Hari ini, matahari menggagahi langit tak begitu garang seperti biasa. Mendung, musim kemarau tiba di ujung perpisahan. Mestilah manusia semarak menyambut musim penghujan yang sebentar lagi tiba.

Tidak demikian di hati Adi. Di sana, bara api berkobar, memercikkan panas yang membuatnya gelisah. Manakala, dilihatnya, tangan wanita pujaan itu bertaut mesra di lengan suaminya.

Seluruh penduduk bumi dan langit mengutuk perasaan dan perbuatannya, Adi tahu itu. Peduli setan, sejak kapan ia mendengar pendapat lain? Apa yang terlintas dalam hatinya, apa yang dibisikkan nafsunya, ia tinggal merealisasikan. Meski dengan menulikan pendengaran, dan membutakan pandangan, Adi bergeming.

Maka, dirasa pantaslah, saat ia menatap tak suka, pada ikatan simbolis tapi nyata itu, di hadapannya. Pada cincin  melingkar di jari Asih, yang entah sejak kapan dipakainya, pada Jalil, lelaki berstatus suami wanita-nya.

Bibir Adi terkatup rapat. Rahangnya gemeletukan.

"Di, malah diem." Rahmat membawa kembali kesadaran Adi yang sempat berkelana.

Adi menyunggingkan senyum, menjabat terpaksa pada tangan yang terulur di depannya itu. Panas, itulah yang Adi rasakan saat ini. Sekujur tubuhnya serasa dilahap api.

"Adi ... teman kita dulu, bukan?" Jalil berpaling pada Rahmat yang segera mengiyakan.

"Wah, seneng ketemu teman lama. Gimana kabarmu, Di? Gak nyangka bisa kumpul di sini." Nada ramah dalam suara Jalil mengalir secara alami, tidak dibuat-buat.

Adi tersenyum tipis. "Ya, seperti inilah. Kau bisa liat."

Jalil terkekeh. "Sudah ada anak berapa?"

Adi menelan ludah. Tenggorokannya seperti menelan pisau. Baru kali ini, ia merasa tertohok dengan pertanyaan semacam itu. Diliriknya dari sudut mata, Asih bergerak gelisah.

"Boro-boro punya anak, nikah aja belum."

Jalil makin keras tertawa. Tentu saja, tawa khas sahabat, tapi di telinga Adi, terdengar merendahkan.

"Kalau begitu, kalian berdua sama saja. Masih betah menjomblo, ayolah, apa ruginya menikah? Kan enak toh, saban malam ditemani istri terus." Jalil berkata sambil merangkul bahu istrinya. Membuat sakit pandangan Adi.

Ia membuang muka. Dari arah sampingnya, Rahmat balas tertawa.

"Kalau aku sih, sebentar lagi. Entah Adi ini." Tak lupa, ia menyenggol lengan Adi.

Adi hanya menautkan senyum tapi matanya tak lepas dari Asih. "Doakan saja."

"Oh, ya. Pumpung ada di sini, sekalian saja. Aku mau ngadain reuni kecil. Syukuran. Undang teman-teman lama, sekadar ngobrol-ngobrol biasa. Kalian jangan lupa datang." Jalil menebar pandangan.

"Waah, kapan tuh?" Rahmat menyambut antusias.

"Nanti malam. Pokoknya wajib datang!"

"Yoi. Kita pasti datang. Gratis, kan?"

Lalu kedua sahabat itu tertawa, tak menyadari dua manusia di samping mereka, melemparkan tatapan yang hanya mereka sendiri mengerti artinya.

------------------

Tirai-tirai kegelapan membungkus langit dengan warna hitam. Satu dua bintang menyembul, menemani sang ratu malam. Desau angin sesekali menyapa dedaunan, membawa sensasi dingin, mengawali pergantian musim.

Gulita, waktu yang paling tepat untuk merenungkan segalanya. Apa yang sudah dilakukan hari ini, apa yang diperbuat kemarin, dan apa yang sekiranya dilaksanakan esok hari.

Lelaki PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang