Chap. 3

5.4K 129 0
                                    

#Lelaki_Penggoda

Chap. 3

Menapaki usia udzurnya, malam mulai dihiasi semburat sinar putih, pertanda matahari hendak menampakkan dirinya, menggantikan sinar rembulan yang menjaga bumi semalaman.

Suara-suara azan terdengar sedari tadi. Masjid di tengah-tengah desa itu ramai didatangi orang-orang yang hendak menunaikan kewajibannya, memenuhi panggilan mulya. Temaramnya fajar dihiasi manusia-manusia, sebagian mengenakan mukena putih, sebagian lain memakai baju takwa, tak lupa peci dan sarung. Kehidupan beragama di desa memang masih kental dan kuat. Di pagi sedingin ini, tak sedikit yang mendatangi tempat suci itu untuk beribadah.

Di bawah sorot rembulan yang hampir tertelan pergantian, seorang pemuda berjalan sempoyongan. Sesekali ia terhuyung hampir terjerembab. Untunglah ia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya. Langkahnya semakin berat. Raganya dikuasai mabuk akibat minum-minuman semalaman.

Ia membuka mata, mengamati keadaan sekitar. Jarak rumah Dul dan rumahnya masih cukup jauh, sedangkan seluruh bagian tubuhnya seakan berteriak minta istirahat.

Sesaat, ia akhirnya memutuskan untuk merebahkan tubuhnya barang sekejap di gardu dekat masjid, sekadar melepas penat tubuhnya. Pening di kepalanya semakin menjadi-jadi.

Ia meracau sebentar, sebelum kedua mata itu terpejam seluruhnya.

Suara iqomah terdengar dari corong masjid di samping gardu itu. Pemuda itu memaki keras, sebelum kesadarannya lenyap seluruhnya.

Di tengah-tengah para hamba yang beribadah, Tuhan menyaksikan satu hamba-Nya melalaikan kewajibannya. Menikmati tipuan duniawi. Melebur raga dalam nafsu syaithoni.

----------------------

"Adi, bangun, Di!"

Suara itu terulang berkali-kali dibarengi guncangan pelan di lengan Adi. Pemuda itu menggeliat sebentar. Menggerutu lalu kembali meneruskan tidurnya.

Lelaki separuh baya itu menghela napas. Tanpa kemampuan peramal sekali pun, ia tahu, sang anak pulang dari bersenang-senang semalam. Entah di diskotik mana lagi. Rasanya mulutnya sudah berbusa saking seringnya menasehati putra semata wayangnya itu. Tapi, apa mau dikata, Adi hanya menganggap angin lalu.

Lelaki di pertengahan usia 50 tahun itu lalu duduk di samping sang anak yang masih terbuai. Lelah jiwa raganya berusaha mengembalikan penerus keluarganya ke jalan yang benar. Semua cara hampir ia tempuh, tapi tak membuahkan hasil sedikit pun.

Dilamunkannya, betapa ia ingin mengulang masa lalu. Kembali ke zaman-zaman saat Adi masih berupa bocah kecil nan polos. Ingin diulanginya, mendidik anak itu jauh lebih tegas. Ingin ditempanya dengan pelajaran yang keras. Kini, ia mengetahui dengan pasti maksud baik sang ayah dahulu. Didikan keras dan disiplin tinggi, bukan tanda tak sayang. Hanya saja, untuk menunjukkan, keberhasilan hidup bukan untuk mereka yang bermanja-manja.

Dipandangnya dari sudut mata, Adi, putra satu-satunya masih terlelap dalam tidurnya. Andai ia mendengarkan nasehat kakek Adi dulu, mungkin bocah itu tak akan tumbuh menjadi pemuda bengal seperti sekarang ini. Alasannya sayang. Alasannya karena anak semata wayang. Justru sekarang, semua berbalik menjadi bumerang.

Sekali lagi, bapak Adi mengembus napas. Tidak ada gunanya menyesal. Satu-satunya jalan sekarang adalah memperbanyak doa. Meminta pada Yang Maha Kuasa, supaya diberi kesempatan, memberi celah hati sang anak agar terbuka.

Sebelum memanggul cangkul di bahunya, sekali lagi, ia mengguncang tubuh Adi.

"Adi, bangun, Nak. Mamakmu menunggu di rumah."

----------------------

"Kopi satu, *Be'!" Adi berseru pada Mbok Juleha, pemilik warung pinggir jalan itu. Mbok Juleha hanya mengangguk sekilas lalu menyiapkan pesanannya.

Adi menguap lebar. Rasa kantuk masih menggayuti pelupuk matanya. Tapi, perutnya meronta-ronta minta diisi. Sambil menyegarkan diri, tidak ada salahnya ia menyegarkan mata pula. Dan warung Mbok Juleha, satu-satunya yang terlintas di benaknya.

"Isah kammah, Be'? (Isah kemana, Be'?)" Adi bertanya dengan mulut penuh pisang goreng yang baru dicomotnya.

Mbok Juleha memberengut ke arahnya. Paham betul maksud anak muda itu.

"Isah bantu-bantu bapaknya di sawah," jawabnya ketus. Ia memang tidak memperbolehkan lagi sang putri bungsu menemaninya di warung. Bisa-bisa diincar 'serigala' juga, nanti.

Adi mengembus napas kecewa. Pupus sudah harapannya 'mencuci mata' di warung Mbok Juleha ini.

"Mamakmu tadi nyariin, sekalian bayar hutang-hutangmu di sini." Mbok Juleha meletakkan secangkir kopi dengan uap megepul di hadapan pemuda itu. Adi melirik malas. Memilih menyeruput kopinya daripada menanggapi perkataan itu.

Adi menoleh sekilas saat menyadari bayangan seseorang di sampingnya, tengah berdiri. Ia buru-buru meletakkan kopi yang baru saja dinikmatinya. Yang ada di sampingnya kini, jauh lebih 'nikmat' daripada kopi buatan Mbok Juleha.

"Mbok, sabun mandinya satu."

Suara khas wanita itu menendang gendang telinga Adi. Membuat pemuda itu tersenyum miring. Mangsa selanjutnya, sudah tiba.

Seorang wanita dengan kecantikan khas desa, mengenakan jarik dan baju khas rumahan, dan jilbab yang menutupi separuh kepalanya, menyebutkan beberapa barang keperluannya pada Mbok Juleha. Berbincang-bincang sebentar, membayar harga yang ditentukan lalu bergegas pergi dari warung tersebut. Pandangan Adi mengikuti langkah wanita itu hingga lenyap di belokan.

"**Cong! Hei!" Mbok Juleha mengagetkan Adi yang segera menatapnya sebal.

"Ganggu aja, Be'!" Adi menggerutu kesal.

"Jangan pikiran macem-macem sama Sumi. Dia baru aja janda. Anaknya dua. Kasian!"

Janda?

Sebuah seringai tipis tercetak di bibir Adi. Selanjutnya, perkataan Mbok Juleha sama sekali tak didengarnya. Satu-satunya yang memenuhi pikirannya adalah kata janda itu.

Seringai tipis itu berganti menjadi senyuman.

--------------------

*Bebe' : Bibi
**Cong: Nak

Lelaki PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang