Chap. 8

3.1K 101 1
                                    


.
"Aku tak bisa membohongi hati. Jujur, aku bingung dengan semua ini. Tapi, aku lebih tidak bisa melihat kau pergi apalagi pindah ke lain hati. Aku akui, aku egois, Mas. Aku sudah menikah, tapi malah ingin memilikimu. Aku ... minta maaf."

Kepala terbalut rambut hitam panjang itu terpekur ke bawah. Usai pengakuan panjang itu, tak ada yang bersuara. Hanya deru napas, terdengar bersahut-sahutan dari keduanya.

Adi mengerjap mata tak percaya. Benarkah?

Dilihatnya, wanita itu masih menunduk. Rona wajahnya menyiratkan kebingungan dan perasaan putus asa. Untuk yang pertama kalinya, ia tidak tega melihat wanita meneteskan air mata.

Adi meraba dadanya. Ada detakan keras di sana. Dentuman bahagia yang bertubi-tubi melambungkannya terbang tinggi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Ia tidak pernah merasa sebahagia ini.

Wanita itu masih tertunduk bisu. Adi memegang kedua lengannya, membuatnya terdongak.

"Asih ... benarkah semua ini?" Suaranya bergetar tak yakin.

Asih mengangguk lemah. Entahlah. Semua ini terasa menyesatkan. Ia cinta 100% pada Jalil suaminya, tak terbesit sedikit pun keinginan untuk berpisah. Tapi di sisi lain, hatinya menginginkan Adi lebih dari apa pun. Lelaki itu sanggup melunglaikan semua akal sehatnya.

"Terima kasih, Asih. Aku ... sangat bahagia." Adi memeluk tubuh ringkih itu erat-erat. Menghirup aroma wangi yang menguar, dalam-dalam. Aroma yang memabukkan.

Aneh. Asih merasa ada yang aneh dalam dirinya. Desiran asing melewati hatinya, membuatnya lemas. Desiran yang menginginkan lebih, saat Adi menyentuh tubuhnya. Ada apa ini? Apa benar ia merindukan sentuhan lelaki?

Pikiran dan hati Asih berperang hebat. Satu berusaha mengalahkan yang lain. Asih masih bimbang dengan apa yang telah diputuskannya. Hingga akhirnya ia membiarkan madu itu tereguk, saat ia membalas pelukan Adi.

"Kita tahu apa yang kita lalui saat ini terlarang. Tapi kita bahagia. Biarkan kita bahagia meski untuk sesaat saja."

Lagi, Asih tak kuasa untuk tak menyerah kalah.

-------------------

Siang itu, panas masih membakar bumi seperti yang sudah-sudah. Namun, di sebuah bangku taman, sepasang kekasih bercakap riang, mengabaikan sang raja hari yang menggarang di atas langit.

Sesekali, candaan mereka terhenti, saat dua pasang mata beradu pandang, dan si wanita menundukkan kepala karena malu.

"Tidak usah malu seperti itu, Sayang. Kita sudah mengikat cinta kita. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi berdua." Adi mengangkat dagu Asih, menatap tepat di bola matanya.

Wanita di sampingnya itu bergerak cemas. Tampak sekali, sesekali keraguan menghantam dirinya.

"Apa yang kau pikirkan?" Adi berkata lembut, sembari menyelipkan anak rambut yang keluar dari ikatannya.

"Aku tidak tahu, Mas. Aku hanya merasa ... semua ini salah." Asih tak mampu menentang sorot mata Adi.

Lelaki itu berdeham maklum. Sebagai pengelana cinta wanita, semua ini memang bukan hal baru baginya. Tapi bagi Asih, apa yang terjadi di antara mereka, adalah hal yang tabu.

Adi meraih tangan Asih yang berada di atas pahanya.

"Lantas, kau ingin bagaimana? Asih tahu sendiri, kan, semua ini memang tak mudah. Apa Asih ingin Mas pergi?"

Asih langsung mendongak dan menggeleng cepat. "Bukan itu, maksudku, Mas. Aku ... aku hanya terlalu takut." Suaranya bergetar menahan gejolak.

Adi menghela napas. Pagi tadi, ia berbohong pada Rahmat, mengatakan ingin menjenguk bapak-mamaknya. Padahal, karena Asih meminta waktu untuk berbicara empat mata. Jadilah mereka bertemu di sebuah tempat wisata terdekat. Satu-satunya tempat yang mereka anggap aman untuk mengungkapkan segalanya.

Lelaki PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang