Chap. 4

4.7K 130 8
                                    

#Lelaki_Penggoda

Chap. 4

"Tapi, aku serius suka sama kamu." Adi menatap mata Sumi dengan sorot penuh harap. Wanita itu memalingkan wajahnya. Berharap mengusir binar memelas dari netra lelaki itu.

"Maafkan aku, Kak. Aku tidak bisa. Kamu tahu, kan. Aku ini janda. Belum lama pula. Apa kata keluargaku nanti. Bapak ibuku, belum lagi keluarga suamiku. Kamu tahu, kan, rumah kami berdekatan." Sumi mendesah. Ia melepaskan tautan jemari Adi di tangannya. "Dan apa kata masyarakat nanti?"

Adi menatap lurus ke depan. Wajah cantik itu meredup sayu. Ia mengambil dagu Sumi dan menghadapkan wajah itu padanya.

"Kamu percaya aku? Kita kenal emang gak seberapa lama. Tapi aku tulus." Adi meraih tangan Sumi dan membawanya menyentuh dadanya. "Di sini, aku sayang sama kamu."

Sumi menahan napas. Tercekat. Saat wajah itu semakin mendekat. Dan semuanya, bayang ibu bapaknya, keluarganya, saudara-saudara suaminya, hilang dalam satu decapan dua lidah yang bertemu.

Menikmati kenikmatan yang Allah tetapkan haram bagi para insan.

-----------------

Rona merah itu menjalari pipi Sumi tatkala menatap Adi bergerak lincah di atas tubuhnya.

Sebagai wanita, ia mendamba sentuhan pria. Tiga bulan bukan waktu yang sedikit. Hasrat perempuannya meletup-letup di ambang batas. Pun usianya yang memang terbilang masih muda, seharusnya di puncak kenikmatan ragawi.

Sumi menikmati.
Sumi merasai.
Sumi mengecapi.

Harus ia akui, Adi memang piawai membuatnya terbuai. Padahal baru seminggu mereka berkenalan. Tiga hari yang lalu Adi mendekati. Dan sekarang, ia jatuh ke pelukan pemuda itu.

Dalam hati, sudut batinnya memberontak. Menolak segala kenikmatan itu. Memvonis dosa dan haram. Merasa jijik pada raga yang melingkupinya itu.

Tapi, batin dan akal sehat Sumi sudah tertutupi.

Oleh iblis rupawan bernama Adi.

--------------------

Siang itu, matahari tengah merajalela. Bumi bagai terpanggang. Apalagi, musim kemarau memang tengah berada di puncaknya. Bagi tanah yang tak memiliki sumber air, suatu malapetaka berdiri di ujung menunggu waktunya tiba. Retak-retak di sawah itu seakan menjadi pertanda.

Kesulitan hidup barangkali tak lama lagi akan menyapa.

Seorang lelaki tua, mengusap peluh yang merembes di dahinya. Mengibas-ngibaskan topi kumalnya, mengusir panas. Jika bukan karena kewajibannya pada sapi-sapi yang dipeliharanya, tentu bersantai di bawah pohon yang rindang, atau berleha-leha ditemani kipas angin, adalah pilihan terbaik.

Ditepisnya pikiran-pikiran itu, ia bergegas mengayunkan sekali lagi celurit tajamnya pada rumput-rumput hijau yang menjelang layu itu. Hari ini, hasil menyabit rumput tak seberapa banyak. Mungkin bisa ditambal dengan pucuk-pucuk daun mangga di rumah.

Sementara tangannya bekerja, pikirannya terus berkelana. Apalagi kalau bukan memikirkan putra semata wayang? Seminggu ini dia tak pulang. Jangan ditanya betapa cemasnya. Meskipun ia tahu anaknya baik-baik saja, tetap saja cinta kasih seorang ayah tak pernah berhenti mengkhawatirkan. Seberapa gunung pun kesalahan seorang anak, setiap orang tua pasti menemukan cara untuk memaafkan. Begitu pula yang dirasakan bapak tua ini. Baginya, sang buah hati satu-satunya, adalah harapan terbesar. Mana kala, raga tak mampu bergerak, hanya terbujur kaku berbalut kain putih di atas dipan. Harapan terbesar, sang sumber amal jariyah akan mengirimi peristirahatan terakhirnya dengan doa-doa.

Lelaki PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang