PROLOG

22 3 0
                                    

"Maafkan aku yang harus mengambil semua milikmu, maafkan aku jika terlalu egois ingin memiliki semua yang kamu punya. Aku akui aku memang egois, kejam, dan tak tahu diri. Tapi aku melakukan ini karena aku sadar bahwa aku tidak akan bisa lebih lama lagi bersama kalian, dan aku hanya ingin membuat kenangan sebelum aku meninggalkan", batin seseorang dengan mengelus bingkai foto keluarga. Dalam foto tersebut terlihat empat orang yang bahagia. Dengan sepasang suami istri yang tersenyum bahagia dan dua anak yang tertawa tanpa beban. Selain itu dia juga menyelipkan sebuah foto masa kecil di belakang bingkai foto tersebut, foto seorang laki-laki yang tertawa bahagia dengan seorang gadis kecil berumur 7 tahunan yang tengah dikuncir kuda. Air matanya terus menetes, antara merasa bersalah dan ingin tetap seperti ini.

"Aku tahu kamu akan melakukan ini, aku tau kamu ingin dekat dengannya. Dan selama ini kamu diam-diam membaca semua surat dan email-ku darinya. Walaupun terasa sesak, namun aku tak mungkin sanggup menolak apa yang kamu inginkan". Gumam seseorang dibalik pintu dengan air mata yang coba ditahannya. Dia juga sama-sama berada di posisi yang serba salah, jika ingin dia bisa saja egois dan merebut kembali lagi apa yang seharusnya menjadi miliknya. Namun, dia tidak ingin terus menerus merasa bersalah pada seseorang yang sedang berada di dalam kamar. Karena baginya orang itu lebih berharga daripada dia yang seharusnya menjadi miliknya.

Ketika ingat dengan apa tujuannya, dia segera menyeka air matanya dan membuat sebuah lengkungan senyum untuk menutupi perasaannya. Dengan ceria seperti biasa dia membuka pintu dan menyuruh orang yang di dalam untuk makan.

"Woi, ayo makan! Udah ditunggu papa, mama sama grandma di bawah", ucapnya sambil sebelum membuka pintu dengan maksud mengageti. Dengan gugup seseorang yang ada di dalam kamar mengembalikan bingkai foto kembali ke atas nakas.

"Issh, apaan sih, iya bentar lagi aku turun makan. Gak usah ngagetin juga kali, untung aja aku gak jantungan. Emang kamu mau tanggung jawab kalau aku kenapa-kenapa?", sungutnya untuk menutupi kegugupan karena takut ketahuan sedang memandangi sebuah foto.

"Iya mau lah, tapi entar kamu yang nanggung dan aku yang jawab", jawabnya sambil menggandeng tangan orang yang masih terduduk di pinggir kasur.

"Dasar ya kamu itu, masih aja suka bercanda. Kita ini udah mau kuliah juga masih kayak anak kecil, paling suka cari-cari alasan", gerutu orang tersebut ketika ikut turun ke meja makan.

"Kamu kan tahu sendiri, seluas-luasnya alas tetap lebih luas alasan?", jawabnya membela diri.

"Alas? Alas kaki?", gadis tersebut berhenti mencoba mencerna perkataan kembarannya.

"Alas itu bahasa Jawa-nya hutan. Gitu aja gak tau," jawab gadis itu berbalik menatap ganti kembarannya.

"Biarin aja, emang beneran gak tau kok. Daripada sok tau, wlee." Balas Sheira menjulurkan lidah dan mendahului kembarannya ke ruang makan.

"Heh, dasar! Bilang aja males buat nyari tau".

"Ngapain juga, gak penting," dengan mengibaskan rambut panjangnya Sheira membalas ucapan kembarannya.

"Wah , ckck rakyat durhaka kau. Bahasa Jawa itu penting kali, bahkan asal kamu tau ya. Bahasa Jawa itu dijunjung tinggi sama bangsa lain, bahkan ada beberapa kampus di luar negeri yang punya jurusan khusus bahasa Jawa. Eh malah kamu yang orang Indonesia gak bangga," ucapnya sok bijak.

"Bodo amat!" dengan acuh Sheira menghabiskan pasta yang dihidangkan mamanya.

"Ngimpi apa aku punya kembaran kok apa-".

"Udah-udah berhenti dulu debatnya, kalian ini kalo dibiarkan pasti gak ada habisnya. Kalian ini udah lulus SMA, dan bentar lagi kuliah masih aja ribut terus. Pusing papa dengerin kalian", ujar Niko menengahi kedua anaknya. Dia kadang bingung dengan kedua gadisnya ini, padahal mereka sudah sama-sama menginjak dewasa namun masih sering bertingkah seperti anak-anak. Mereka akan selalu berdebat tentang suatu hal yang sepele, tidak ada yang mau ngalah. Sedangkan mereka diajarkan untuk selalu berbicara sopan, jadi ketika mereka marah dan berdebat pun tetap dengan bahasa yang santun. Memang agak lucu, marah-marah tapi kata yang diucapkan tetap memakai aku-kamu dan tidak memakai bahasa alay lainnya.

Setelah 15 menit hening dan hanya terdengar suara alat makan yang saling beradu, keluarga ini menuju ruang keluarga. Kedua gadis tersebut duduk lesehan dan yang lain di sofa berwarna maroon. Setelah beberapa lama saling bersenda gurau, Niko mengutarakan rencana yang sudah dipikirkan sebelumnya.

"Besok kita semua akan kembali ke Indonesia, tapi grandma tetap di sini-"

"Maaf pa, aku tetap di sini aja, mau nemenin grandma", tiba-tiba tanpa pikir panjang salah seorang anak menyela perkataan Niko.

"Lho kenapa?", Niko mengernyitkan dahi. Karena setahunya yang paling ingin kembali ke Indonesia adalah anak gadis tertuanya ini. Selama 7tahun tinggal di Sydney, dia terus-terusan menanyakan kapan kembali ke Indonesia. Ketika rencana tersebut sudah akan dijalankan, kenapa malah menolak? 

"Em, aku mau nemenin grandma pa. Kasian tau di sini sendirian, sebagai cucu yang baik hati, tidak sombong, tapi pamer dikit aku bakal tetap sama grandma." Ucapnya memberi alasan yang dapat diterima.

"Beneran? Bukan modus biar tetep deket sama Argion?".

"Gak lah pa, aku gak mau balik ke Indonesia tapi pikiranku tetap di sini. Papa tau sendiri kan selama ini aku udah deket banget sama grandma."

"Ya sudah jika itu keputusanmu, jaga diri baik-baik di sini. Jangan nyusahin grandma," sang mama –Nedya- memberi wejangan kepada putrinya tersebut. 

"Siap Ibu Suri," sebuah kerlingan mata dihadiahkan kepada sang mama dengan tangan membentuk gerakan hormat.

"Lalu bagaimana dengan kuliahmu?", tanya Niko kembali.

"Aku mau kuliah di Le Cordon Bleu." Jawabnya dengan mantap.

"APA!!???", semua menganga dan tidak percaya dengan ucapan Sheina.


Maaf jika awalnya gaje, hehe.

TWIN'S LOVEWhere stories live. Discover now