-6-

5 0 0
                                    

Seharian ini waktu liburan dihabiskan untuk jalan berdua. Setelah selesai menonton di bioskop, Sheira dan Rega menuju ke Dufan untuk menaiki beberapa wahana. Mereka hanya menaiki wahana yang biasa saja, bukan wahana-wahana ekstrim seperti roller coaster, tornado, dan lain sebagainya. Sheira menolak ketika Rega mengajaknya.

"Shey, kita naik tornado ya. Aku pengen banget naik wahana itu sama kamu." Genggam Rega sambil berjalan menuju antrian untuk naik wahana tersebut.

Namun Sheira hanya bergeming, dia tidak mengikuti di belakang Rega. Wajahnya pucat pasi, tangannya gemetar, dan reflek tubuhnya seperti orang ketakutan.

"Kenapa Shey? Kan biasanya kita naik wahana itu. Malah kamu yang selalu narik dan maksa aku."

"Ehm ..." Sheira berdeham untuk menetralkan suaranya. "Aku lagi gak pengen naik wahana ekstrim kak. Aku pengen naik bianglala aja ya kak."

"Ya udaj kalo gitu," Rega beralih menuju antrian dimana wahana bianglala berada.

Antrian terlihat mengular beberapa meter. Banyak para remaja yang mengantri, kebanyakan merupakan pasangan muda-mudi yang ingin menikmati momen romantis di dalam bianglala yang berputar. Walaupun antriannya terlihat panjang, namun tak sepanjang di beberapa wahana ekstrim. Di sana antrian tampak lebih banyak dan mengular, kebanyakan mereka adalah para remaja yang berkelompok. Seperti teman-teman sekolah maupun komunitas.

Setelah menunggu selama 10 menit, akhirnya tiba giliran mereka untuk naik. Keduanya duduk dengan tenang dan melihat pemandangan yang terlihat kecil di bawah.

Keadaan menjadi hening, namun tidak canggung. Keduanya berkutat dengan pikiran masing-masing. Sesekali saling mencuri pandang, dan langsung memalingkan muka ketika kedua netranya bertabrakan. Muka Sheira bersemu merah ketika Rega menatapnya intens. Dia semakin gugup dan menjalin jari-jarinya. Jantungnya bertalu dengan keras, bahkan dia takut jika suara jantungnya sampai terdengar ke telinga lelaki yang kini ada di depannya.

"Aku suka kamu."

Sebuah kalimat pernyataan itu langsung membekukan Sheira. Dia tidak menyangka Rega berkata seperti itu.

"Aku suka kamu jadi kayak gini. Entah apa yang kamu lalui dan siapa yang merubah kamu selama di sana. Tapi aku sangat berterima kasih karena telah membuat Sheina-ku menjadi feminin." Rega tersenyum lembut sambil mengambil tangan Sheira, dia meremasnya halus. Diarahkan tangan tersebut ke depan bibirnya, lalu mengecupnya.

Meskipun hanya punggung tangan Sheira yang dikecup, namun sengatan liatrik terasa dalam diri Sheira. Dia hanya diam melongo, tidak menyangka mendapat perlakuan semanis ini. Tapi seketika senyumnya memudar ketika sebuah kenyataan menghantamnya, yang dicintai Rega adalah kembarannya, bukan dirinya. Sheira segera melepas tangan Rega dan menatap keluar, perasaannya terasa campur aduk.

Rega yang menyadari perubahan Sheira hanya mengernyit bingung. "Kenapa sayang?" tanya Rega mengangkat dagu Sheira dan menatap tepat pada irisnya. "Jika ada sesuatu yang mengganjal katakan saja."

Sheira hanya diam dan matanya mulai berkaca-kaca. Dia mengerjapka  matanya dan setetes air mata berhasil lolos. Rega yang melihat mulai panik, "apakah aku menyakitimu?"

"Tidak kak. Aku hanya sangat bahagia." Sheira tersenyum.

***

"Apakah kau mengenal lelaki kemarin?" tanya Michael sambil menyiapkan minuman untuk pelanggannya.

Saat ini mereka berada di depan meja pantry cafe. Tidak ada yang menegur keduanya, karena memang sudah terbiasa mereka bertiga melakukan hal beraama-sama di dapur.

"Entahlah Mic, aku hanya merasa aneh. Kenapa dia menatapku seperti melihat hantu saja," Sheina cemberut sambil memotong cheesecake kesukaannya.

"Mungkin saja dia menganngapmu hantu karena wajahnya yang terlampau pucat akhir-akhir ini. Apa kau yakin memang baik-baik saja? Walaupun hanya hatimu yang terluka namun tidak menutup kemungkinan fisikmu juga ikut terluka."

"Oh .. Michael yang perhatian," cibir Sheina sarkas. "Aku baik-baik Mic, mungkin aku hanya perlu menenangkan pikiranku selama beberapa hari."

"Good idea. Bagaimana kalau kita liburan bertiga?" tawar Michael dengan wajah berbinar.

"Tidak, terima kasih. Aku tak mau menjadi obat nyamuk di antara kalian lagi!" jawab Sheina ketus.

"Oh ayolah! Itu salahmu yang tidak mau mengenal dengan para lelaki di sana. Padahal jika kau mau sedikit membuka hati, kau bisa bersenang-senang seperti aku dan Fellica."

Memang mereka pernah berlibur bersama. Namun Sheina masih sangat jengkel mengingat hal itu.

Dua kakak beradik itu malah mencari teman kencan, dan berakhir dengan dia yang ditinggalkan di kursi santai pinggir pantai. Ibarat kata dia hanya bisa gigit jari melihat keduanya menikmati liburan dengan kenalan mereka.

Sebenarnya juga ada beberapa lelaki yang mendekati Sheina, namun dia terlalu malas untuk menanggapi mereka. Apalagi biasanya hal seperti itu hanya akan berakhir dengan one night stand. Membayangkannya saja sudah membuatnya bergidik dan merasa jijik ketika harus bermesraan dengan seseorang yang baru dikenal.

"Hei! Kau malah melamun dear." Michael menggoyang-goyangkan tangannya di hadapan Sheina.

"No, thanks. Aku tidak tertarik untuk mengikuti idemu itu. Lebih baik aku pulang saja. Menengkan diriku sendiri." Sheina beranjak dari kursi dan berjalan keluar dari cafe. Dia tersenyum ramah ketika bertemu dengan orang-orang yang menyapanya.

Dia berjalan di trotoar sendiri. Hari ini jalanan cukup sepi, karena udara mulai terasa dingin. Dia mengerang frustasi karena lupa memakai jaket, pasti nanti sampai rumah dia akan flu dan hidungnya memerah.

Walaupun dari segi fisik dia lebih tahan dari kembarannya, namun tetap saja dia manusia yang bisa merasa sakit. Dia berjalan cepat agar lekas sampai di halte. Dia duduk dengan tenang menunggu bus yang akan dia naiki.

Sheina mengecek ponselnya dan lekas mematikannya kembali karena tidak ada notifikasi yang mendesak. Hanya dari beberapa grup chatnya dan notifikasi update cerita di aplikasi wattpad-nya. Itu masih bisa dia buka ketika nanti di rumah.

Ketika sedang mengamati kendaraan yang berlalu lalang, tiba-tiba sebuah jaket bertengger di pundaknya. Sheina berjengit kaget lantas menoleh. Terlihat lelaki yang kemarin ditemuinya di cafe kini berada di sampingnya.

"Udara cukup dingin di sini, gak seperti di Jakarta yang panas," Sheina hanya diam dan mengamati lelaki yang ada di sampingnya. Kenapa dia mengajaknya bicara bahasa Indonesia?

"Apa lo gak inget sama gue?"

Sheina hanya menggeleng. "Gue gk ngerasa punya temen kayak lo."

"Di kampus lo selalu ngehindar dari gue, lo bahkan gak berani ngomong sama gue." Hembusan napas bercampur uap terlihat mengepul, "tapi kenapa di sini lo kayak gak kenal sama gue, dan lo biasa aja ngobrol sama gue."

"Mungkin itu bukan gue. Gue udah 5 tahun lebih menetap di sini, jadi mungkin yang lo lihat orang lain," ujar Sheina seraya beranjak menaiki bus yang sudah berhenti di depannya. Tak lupa jaket yang bertengger di bahunya dia tanggalkan.

Lelaki bermata tajam itu hanya menatap kepergian Sheina dalam diam. Namun dalam pikirannya bergemuruh berbagai kemungkinan.

Tbc

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 06, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TWIN'S LOVEWhere stories live. Discover now