―――★――――――★―――
★ Rumah berarsitektur tradisional namun tetap terlihat megah itu berdiri kokoh di depan mata Doyoung. Satu jam yang lalu dia baru saja sampai di kamar asrama, tapi kepala asrama langsung memanggilnya karena ada pesan yang disampaikan oleh Bibinya tercinta. Pesan sepele, tapi tetap menyebalkan bagi Doyoung karena dia harus kehilangan waktu istirahat yang sangat berharga. Dia harus menjemput sang adik sepupu yang sedang bermain di rumah teman.
Doyoung tidak menyangka saja kalau sepupunya punya teman orang berada seperti ini. Bukan berarti Doyoung bukan orang berada, hanya saja jika dilihat dari rumahnya, pemiliknya pasti orang yang sangat kaya.
"Lho? Kak Doyoung!"
Belum Doyoung masuk ke dalam rumah itu, sosok adik sepupunya—Renjun—muncul dari balik pagar dan menatap Doyoung kebingungan. Doyoung yang melihat Renjun memanjat pagar langsung memekik kencang. Pasalnya, pagar rumah itu termasuk tinggi dan harusnya tidak bisa dijangkau oleh anak berusia tujuh tahun seperti Renjun. Doyoung bisa mati lemas jika nanti Renjun terjatuh dan terluka parah.
"Renjun! Turun dari sana!" pekiknya.
Renjun menyengir lucu lalu melompat turun dari sana. Doyoung mengatur nafas lalu berjalan melewati pagar rumah yang dibuka oleh seorang bocah seumuran Renjun. Kemungkinan teman dari adik sepupunya yang menggemaskan itu. Bocah laki-laki yang terlalu tinggi untuk anak seumurannya itu tersenyum simpul pada Doyoung dan dibalas dengan senyuman tak kalah lucu oleh Doyoung yang gemas melihat ketampanan bocah itu.
"Kak Doyoung, kenapa ke sini?" tanya Renjun sambil memeluk kaki Doyoung.
"Malah tanya begitu. Tadi Bibi minta kakak menjemputmu," kata Doyoung sambil mengacak rambut Renjun. Perhatiannya kembali teralih pada sosok bocah yang masih tersenyum simpul di hadapannya. "Kau teman Renjun?"
"Iya, Kak. Namaku Jeno," jawab Jeno sambil membungkuk sopan. Rasanya Doyoung terharu. Kapan Renjun bisa sedewasa Jeno?
"Barusan aku menelpon ibu dan bilang kalau aku akan menginap di rumah Jeno!" seru Renjun.
Oh, sialnya Doyoung hari ini. Jarak dari asrama ke tempat ini bukannya dekat. Rumah Jeno berjarak dua stasiun dari asrama dan harus berjalan kaki cukup jauh juga. Doyoung tidak ingin kembali ke asrama kalau begini. Tenanganya sudah terkuras habis karena perjalanan yang cukup jauh.
"Kakak, masuk saja dulu. Aku akan panggil kakakku," ujar Jeno.
Mengikuti Jeno masuk ke dalam rumah, Doyoung masih mengaggumi setiap inci dari sudut rumah tersebut. Di depannya memang terlihat sangat tradisional, tapi bagian dalam rumahnya terkesan modern namun tetap dibuat seminimalis mungkin dengan dominasi warna putih di dinding dan cokelat lantai dari kayu yang kokoh. Dari luar tidak terlihat luas, namun bagian dalamnya sangat mengagumkan. Ada taman di bagian belakang rumah itu. Jika diminta untuk tinggal, Doyoung dengan senang hati akan tinggal di sana selamanya.
Jeno dan Renjun menghilang ke arah belakang rumah setelah Doyoung duduk di ruang tamu. Kepala Doyoung masih berputar-putar memandangi rumah tersebut. Doyoung sangat menyukainya.
"Maaf membuatmu menunggu."
Di depan Doyoung kini tersuguh potongan buah melon segar dan segelas teh madu hangat. Wangi madunya sangat menenangkan. Berat di pundak Doyoung seakan menguap bersama kehangatan teh itu. Doyoung mengulum senyum lalu mendongakkan kepala. Sepasang bola matanya mungkin akan lepas karena terbuka terlalu lebar. Doyoung terkejut melihat sosok famliar yang kini berdiri di depannya. Sosok pemuda itu juga tak kalah terkejut, hanya saja ekspresinya terlihat lebih terkontrol dibanding Doyoung yang rahangnya seperti akan jatuh ke atas tanah.
Otak Doyoung mencerna dan mencoba menyusun kata-kata yang entah kenapa mendadak tidak beraturan seperti puzzle dan sulit sekali dikeluarkan.
"Kim Doyoung?"
Pemuda itu terlebih dahulu membuka suara. Doyoung mendorong rahang dengan tangan agar mulutnya kembali mengatup. Menyembunyikan gigi kelinci kebanggaan di balik bibir merah mudanya yang menggoda. Doyoung ingin mencopot jantung dan membuangnya jauh-jauh begitu merasakan degup kencang yang seakan-akan bisa meledak kapan saja.
Oke, Doyoung mencoba tenang.
Atur nafas.
"Ketua kelas kenapa ada di sini?" tanya Doyoung dengan bodohnya.
Ketua kelas—Jung Jaehyun—menggaruk pipinya pelan. "Aku tidak boleh berada di rumahku sendiri?"
Doyoung mematung. Ingin memberi gestur anggukan atau gelengan, namun semuanya mungkin akan terasa begitu salah. Bola mata Doyoung bergetar dan itu mengundang sebuah lengkung tipis di wajah Jaehyun terkembang manis. Jaehyun duduk di sisi kiri Doyoung, menuangkan teh ke dalam gelasnya sendiri, sedangkan Doyoung masih duduk diam sambil mengelus lutut dan telapak tangannya berulang-ulang. Mengusir rasa canggung.
Sebelumnya, Doyoung tidak pernah secanggung ini dengan seseorang. Baru kali ini dia merasakannya. Mungkin karena dia bertemu dengan salah satu siswa penting di sekolahnya? Atau mungkin karena sosok Jaehyun yang akhir-akhir ini menarik perhatiannya kini berada di sampingnya? Entahlah, Doyoung sendiri tidak mengerti.
"Maaf kalau sepupuku merepotkanmu," bisik Doyoung. Mencoba membuka pembicaraan dengan membawa Renjun dalam topik pembahasannya.
"Tidak. Renjun anak yang baik dan penurut," timpal Jaehyun, "Dia sangat senang berada bersama Jeno."
"Begitukah?" Hening agak lama setelah Jaehyun menimpali perkataannya dengan begitu santai. Doyoung meraih gelas kemudian meniup pelan tehnya, pergerakan yang sia-sia karena teh itu sama sekali tidak terasa panas.
"Jeno... adikmu?"
Ah, pertanyaan bodoh lagi. Sudah sangat jelas kalau Jeno adalah adik Jaehyun karena menyandang marga Jung dalam namanya, tapi, ada yang membuat Doyoung mendadak dilanda kebingungan. Mengapa air muka Jaehyun langsung berubah ketika dirinya menanyakan soal Jeno?
"Ah, aku tidak ingin menceritakannya," jawab Jaehyun.
"Oh..."
—PRAANG
Belum sempat Doyoung melanjutkan obrolan, terdengar suara gaduh dari lantai dua rumah itu. Sontak mereka berdua kompak mendongak ke atas. Saat menunduk, Doyoung bisa menangkap binar tak biasa dalam mata Jaehyun yang biasanya terlihat kosong. Jaehyun terlihat—khawatir?
"Aku permisi dulu," kata Jaehyun. Meletakkan gelas ke atas meja lalu berlari dengan secepat kilat ke lantai atas, meninggalkan Doyoung yang masih terlarut dalam kebingungannya.
Doyoung buru-buru meletakkan gelasnya lalu berdiri. Ketika hendak berlari menyusul Jaehyun, sebuah tarikan kecil di ujung kemeja sekolah menahannya. Jeno berdiri di belakangnya, tersenyum lalu menggelengkan kepala. Mengisyaratkan kalau Doyoung tidak perlu menyusul Jaehyun. Pada akhirnya, Doyoung mengurungkan niat dan memutuskan untuk kembali ke asrama setelah berpesan pada Renjun agar tidak nakal dan merepotkan Jeno. Dan dibalas dengan kata-kata yang tidak bisa Doyoung duga sama sekali.
"Tenang saja. Mana mungkin ada istri yang merepotkan suaminya. Ya, kan, Jeno?"
Doyoung ingin pingsan saja rasanya.
―――★――――――★―――
KAMU SEDANG MEMBACA
About That Jung - JaeDo✔
Fanfiction「FINISH」 Doyoung terjebak antara rasa ingin tahu dan rasa suka yang mendalam. Tentang rahasia, ciuman, dan cinta. Jaehyun dan seribu topeng yang menutupi wajah aslinya. Remake from Hana-Kimi manga and my previous KimBros fanfiction.