Keanehan

10 0 0
                                    

Disinilah Dezia berada, warung es Teh Uci, tempat biasa ia menunggu jemputan dari Bang Reza. Sesekali ia mengelap wajahnya karena air mata yang tak bisa berhenti untuk dikeluarkan. Kata-kata yang diucapkan Guntur selalu saja terngiang-ngiang di kepalanya.

Dezia sendiri bingung, darimana rasa cinta itu datang. Kenapa harus datang pada sahabat kesayangannya? Kenapa juga mereka harus mengenal cinta jika itu hanya akan merusak persahabatan yang telah terjalin hampir 10 tahun lamanya.

Jika diberi pilihan, Dezia lebih memilih menjadi anak kecil selamanya, dibanding harus tumbuh besar dan mengenal cinta yang tak penting itu. Biarlah, ia senang menikmati masa kecilnya yang bertemu dengan seorang anak lelaki seusia nya di taman bermain dekat kompleks rumah. Anak lelaki tersebut membantunya membuat istana pasir saat Dezia merengek hampir menangis karena istananya selalu runtuh.

Namanya Guntur. Dezia memanggilnya dengan sebutan Utul. Sejak saat itu, mereka selalu bersama. Entah itu menggambar pelangi di belakang rumah Dezia, bermain robot robotan milik Guntur, maupun membuat istana pasir di taman kompleks tersebut. Semua mereka lakukan bersama.

Guntur memilih memasuki Sekolah Dasar yang sama dengan Dezia. Alasannya karena ia takut tak punya teman di sana. Hingga kini mereka bersekolah di SMA Mentari, namun berbeda kelas.

Tak disangka, kedekatan mereka yang telah terjalin lama berhasil menumbuhkan benih - benih cinta terhadap keduanya. Awalnya Dezia tak menyadari itu, ia memang menyayangi Guntur sebagai sahabatnya. Sedangkan Guntur, justru menginginkan hubungan lebih dari sekedar sahabat. Ia ingin dilihat sebagai laki-laki yang tulus mencintainya.

"Ekhem"

Dezia buru buru menghapus air matanya ketika mendengar suara seseorang, lalu menoleh ke sumber suara. Ternyata Deva, si anak baru itu.

"Lo yang sekelas sama gue kan?" Deva duduk disebelah Dezia.

"I..iya" Dezia menunduk, ia tak ingin menunjukan wajahnya yang habis nangis.

Lalu, hening. Tak ada percakapan. Tapi bisa dirasakan bahwa Dezia tengah diamati oleh seseorang disebelahnya ini.

"Kenapa liatin gue kaya gitu?" Dezia memberanikan diri untuk berbalik menatapnya.

Deva tersenyum, matanya memandang ke atas--ke langit-- cuacanya mendung. "Lo nangis, pasti bentar lagi hujan"

Dezia menoleh, "apa hubungannya hujan sama gue yang abis nangis?"

"Segala sesuatunya pasti punya hubungan masing-masing, saling berkaitan. Tapi lo gak sadar, hubungan apa yang sedang berkaitan itu"

"Apaan sih, gak jelas banget" ketus Dezia. Ditanya apa, jawabnya apa.

Kali ini, Deva tak ingin berbincang terlalu lama. Ada orang lain yang sedang menunggunya. Setelah dilihat jam yang berada dilengan kirinya menunjukkan pukul 3 sore.
"Gue duluan, bentar lagi juga abang lo dateng" ucap Deva, berdiri, membenarkan letak tas di punggungnya.

Dezia sendiri hanya memperhatikan gerak-gerik Deva, tak berniat untuk menjawab perkataannya atau sekedar mengucapkan hati-hati dijalan.
Baru beberapa langkah setelah kepergiannya, Deva kembali menghadap Dezia, seperti ada yang tertinggal.
"Ohya, gue belum tau nama lo dan gue gak bakal ngajak lo kenalan , walaupun kita sekelas." ucapnya dengan ekspresi datar. Lalu pergi begitu saja.

"Apaan sih tuh orang, aneh banget. Kalo emang gak mau kenalan yaudah. Dikira gue bakal ngajak kenalan duluan, dih ogah amat." cibir Dezia sambil menatap kepergian Deva dengan mata sinis andalannya. Bahkan sampai Deva menghilang dibawa oleh angkutan umum, Dezia masih menatapnya sinis.

Tukk..
"Aduh.." Dezia mengaduh, saat ada yang melempar batu kecil ke kepalanya.

"Itu mata biasa aja, jangan sok sinis gitu. Punya mata dua aja belagu lu" omel seseorang menimpuk Dezia dengan batu kecil.

Dezia berbalik menatapnya sinis, "SUKA-SUKA GUE! Udah ah, ayo balik. Mendung nih" lalu, menaiki motor yang dibawa bang Reza.

"Kalo ujan juga lu gak bakal jadi mermaid"

"Eh, bacot lu ya. Udah buruan!" Dezia menepuk helm yang digunakan bang Reza dengan buku fisika yang baru dipinjamnya tadi.

Namun, tak disangka. Baru setengah perjalanan yang ditempuhnya menuju rumah, hujan telah turun dengan derasnya. Terpaksa, mereka harus meneduh dulu menunggu hujan reda.

"Abang kenapa berhentinya di rumah kosong gini sih? Kan serem tauu" rengek Dezia.

Memang benar, saat ini mereka sedang meneduh di rumah kosong. Karena panik dengan hujan yang turun tiba-tiba, Reza tak sempat memikirkan tempat meneduh yang nyaman. Refleks, ia menghentikan motornya, lalu mengajak Dezia meneduh ke rumah--yang ternyata kosong-- itu.

"Ya kalo milih-milih tempat neduh dulu, keburu basah, dodol." Reza menyentil kening Dezia dengan gemasnya.

Lalu, terjadi perdebatan lagi, hanya karena Reza meminta Dezia untuk memakai jaketnya, tapi ditolak mentah-mentah oleh sang adik.

"Jaket lu basah, dipake sama gue juga percuma. Gak usah sok romantis ala-ala cerita wattpad gitu deh, gak pantes!" cerca Dezia.

"Heh, jenong! gak inget ya lu pake baju warna apa?"

Lantas, Dezia menunduk, melihat pakaian nya. Ah, sialan! Dia memakai seragam berwarna putih jadi transparan karena kebasahan.

Dengan malu, Dezia mengambil jaket dari Reza. "Sini jaketnya!"

Lagi-lagi, Reza menyentil kening Dezia. "Gak usah blushing juga kali, menjijikan banget sih lo"

"IIIIHHHHHH, ABANGGGG NGESELIIIIINNN!!"

Sejenak, Dezia melupakan masalahnya dengan Guntur. Tapi, ia jadi ingat percakapannya dengan Deva.
Hari ini hujan, Deva benar.

Dezia kembali mengingatnya.
"Gue duluan, bentar lagi juga abang lo dateng"

Lah? Bentar deh, ada yang aneh.











------

Sorry, masih labil, hehe.
Hope you like it, guys 😘

See you~

-Mirandaayusalamah

Ramalan : Lucky or Not ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang