Sudah seminggu sejak pengakuan tak senang Dean atas kedekatan Catur dan Ana. Marsya telentang di atas kasurnya, berkecamuk dalam pikiran-pikiran random, namun sosok Catur dan Ana mendominasi semuanya.
"Gue capek sih lama-lama ngejer Catur terus, berasa bego sampe ke tulang." gumamnya pelan. Ditariknya nafas panjang, lalu kembali serius pada pikirannya.
Kalau ia terus mengejar Catur yang bahkan hanya sesama siswa satu sekolah dan jarang interaksi, kapan dia bisa maju? Sama saja dia mencoret harga dirinya sendiri.
"Kalo gitu.." Marsya terduduk di kasurnya, "gue fix mundur teratur! Toh, perasaan gue bukan apa-apa, pasti gampang buat move on!"
Marsya meraih ponselnya, menghubungi Siska. Pada dering ke tiga, barulah Siska mengangkat panggilan masuk dari Marsya.
"Lo tau ga sih ini jama berapa?"
"Tau, jam 8 'kan?" Marsya melirik jam dinding, takut salah menyebut jam.
"Ck. Kenapa lo telpon-telpon?" Siska bertanya ketus
"DIH judes banget sih! Lo pasti lagi-"
"Iya gue lagi pacaran ini!" Marsya terkikik, puas mengganggu waktu pacaran Siska. Temannya itu punya jadwal tersendiri untuk pacaran dengan Aldi.
"Yaudah, gue cuma mau bilang kalo gue udah mutusin buat mundur teratur dari Catur." Marsya berujar mantap. Siska terdiam.
"Lo kesambet apaan?"
"Gue abis meditasi tadi. Dah sana lo pacaran lagi, bye!" Sambungan terputus.
Semoga ini keputusan terbaik.
***
Catur menatap cokelat di atas meja belajarnya. Dia bahkan lupa kalau sudah menjanjikan cokelat pada Marsya, gadis yang ia kenal gara-gara tiket konser dan ternyata satu sekolah dengannya. Tapi toh, Marsya tidak menagih jadi ia biarkan saja, nanti cokelat itu akan ia beri pada siapapun yang mau.
Dia merebahkan dirinya diatas kasur, kedua sahabatnya sedang merusuh di kamar bernuansa abu-abu itu. Okta sedang sibuk bermain game di ponselnya, sedangkan Dean sedang bernyanyi tak jelas di sudut kamar.
"Yan, lo diem aja napa sih, berisik!" seru Catur kesal.
"Bacot." ketus Dean.
"Eh Tur, lo kenal Marsya anak ips ga?" Dean meletakkan gitar milik Catur, lalu berjalan ke arah kasur berniat untuk duduk disana.
"Kenal." jawab Catur singkat.
"Cantik ya?"
Catur menaikkan satu alisnya, "Iyalah cantik, dia 'kan cewek. Lo naksir dia?" Dean menggeleng
"Gue rasa, lo cocoknya sama Marsya aja daripada Ana." Catur berdecak gemas, lagi dan lagi sahabatnya ini bertingkah menyebalkan.
"Lo kenapa sih Yan? Kek gasuka banget kalo gue sama Ana. Toh, masalah gue digantungin itu kan emang udah resiko, gaada urusannya sama lo."
"Ya gue ogah aja citra cowok jadi ternodai gara-gara ketololan lo!" Dean mulai emosi
"Lah, kok lo malah emosi?" kali ini Catur menahan emosinya,
Tiba-tiba, ponsel milik Dean bernyanyi riuh. Dean mendengus kasar, lalu meraih ponselnya kasar dan berjalan menuju balkon kamar Catur. Di sisi lain, Okta tetap pada posisinya tadi, hanya diam seribu bahasa menonton perkelahian singkat antara Catur dan Dean. Jika sudah begini, Okta tak mau ikut andil karena sudah pasti, dia tak akan di anggap.
***
"Gimana, lo udah move on dari Catur?" tany Siska semangat saat memasuki kelas. Ini merupakan berita bahagia, mengingat akhir-akhir ini Marsya jadi sosok melankolis gara-gara Catur.
Senyum Marsya mengembang, "Belum sih. Tapi pasti bisa! Kan gue selama ini cuma sekedar suka keknya ya? Gampang itu mah." Marsya menjentikkan jarinya angkuh.
"Okay, we'll see! Seneng banget gue dengernya, lo ga bucin lagi!"
"Gimana kalo sekarang kita ke kantin? Gue pengen susu." Siska mengangguk, lalu akhirnya mereka berdua berjalan keluar kelas.
Selama perjalanan menuju kantin, Marsya tak hentinya menggoda adik kelas yang menurutnya ganteng sampai-sampai ada yang tersandung tali sepatunya sendiri saking saltingnya. Begitulah Marsya dulu, hobi menggoda adik kelas ganteng maupun guru-guru muda yang boleh juga. Namun karena beberapa bulan terakhir ini dia suka Catur, sebaik mungkin imagenya dia jaga. Siska menggeleng kepalanya pelan sambil terkikik.
"Hai ganteng, sendiri aja nih? Jalan sama kakak boleh ga?"
"Ganteng-ganteng pamali sendirian! Mending sama Marsya cantik ini aja deh, dijamin bahagia!"
"Kamu ganteng, mama kamu ngidam apasih sampe punya anak seganteng kamuu?"
"Gantengnya, sampe aku meninggal."
Begitulah kira-kira kalimat yang Marsya lontarkan pada adik kelasnya. Cantik-cantik gatel.
"Lo tunggu sini aja, gue beliin susunya." Marsya mengangguk, lalu meraih ponselnya di saku.
"Marsya?" dia mendongak. Ada Ana dihadapannya.
"Ana? Ngapain?"
"Gue boleh tanya sesuatu sama lo?"
Deg. Apa iya Ana sudah tahu perihal perasaannya pada Catur? Apa Dean membeberkan pada Ana? Apa ini saatnya Ana memperingatkannya untuk menjauhi Catur? Tenang! Gue udah mundur. Marsya mengangguk.
"Dean kemaren cerita apa aja sama lo?" Marsya mengernyit tak mengerti
"Kemaren pas di Bali, kalian berdua ada cerita-cerita 'kan pas sunset?"
"Ah iya, lo tau?" Ana mengangguk
"Gue sempet liat lo berdua pas gue jalan bareng Catur."
Masa iya dirinya harus membongkar perihal perasaan tak suka Dean terhadap hubungan Catur dan Ana? Tidak, Marsya bukanlah sosok yang ember.
"Gaada, gue cuma curhat aja sama dia. Kenapa?" Marsya tersenyum lembut
Terdengar helaan nafas dari sana. "Beneran 'kan? Ga cerita aneh-aneh 'kan?" Marsya mengangguk.
"Oke, makasih ya! Maaf udah ganggu waktu lo. Gue duluan." Ana mengulum senyum manis, manis sekali, lalu pergi. Ah, pantas saja Catur suka Ana, senyumnya menenangkan hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth
Novela JuvenilGara-gara tiket konser, Marsya si cantik dari jurusan IPS jatuh hati setengah mati kepada Catur si tampan dari jurusan IPA. Namun sayang, rasanya tak terbalas walau setitik. Hingga Marsya mengetahui fakta bahwa Catur tengah terjebak 'Friendzone' de...