5- Bali, Sunset 2

0 0 0
                                    

Angin sore meniup-niup rambut cokelat Marsya. Saat ini, dia dan Siska tengah sibuk berpose di pantai.

"Gimana hasilnya?" Siska membalik kertas polaroid yang baru keluar.

"Sabar neng," Marsya mengangguk. Sambil menunggu hasil polaroidnya, dia memutuskan untuk bermain pasir pantai. Sesekali dia menulis diatas sana, seperti menulis namanya dengan nama Catur. Lalu menuliskan Catur rese, dan hal tak penting lainnya.

"Nih, udah!" dia segera berlari mengambil polaroid ditangan Siska.

"Aih, cantik bener gue!" ucapnya senang, memuji diri sendiri.

"Cantik-cantik bucin." cibir Siska. Bibir Marsya merengut mendengar cibiran Siska.

Lalu mereka hanyut dalam obrolan para wanita, alias menggosipi sebangsanya sampai cowok ganteng. Suasana disana begitu tenang, saat seorang gadis berteriak memanggil nama Siska.

"Siska!" pemilik nama menoleh, mendapati Dea yang sedang berlari tergesa-gesa.

"Eh, Dea. Kenapa lo?" Dea mengambil nafas panjang, lalu menjawab pertanyaan Siska

"Lo ikut gue yuk! Ada something!" ujarnya cengengesan.

"Penting ga tuh?"

Dea mengangguk semangat, "Penting banget lah anjir, semangat ini gue!"

Siska menoleh pada Marsya yang sejak tadi bungkam, memberi isyarat lo-mau-ikut-ga? dan Marsya hanya menggeleng.

"Ntar gue nyusul, 15 menit lagi sunset. Gue gabisa ninggalin senja, soalnya terlalu sayang." Marsya berkata dramatis, seolah senja adalah Catur

"Yeee! Malah curcol. Yaudah, gue tinggal. Lo gapapa sendiri 'kan? Gue tau lo tatag." Marsya mencebikkan bibirnya, lalu mengibaskan tangannya, mengusir Siska.

Marsya tahu, sebenarnya si Aldi anak kelas sebelah akan menembak Siska. Ya, Aldi dan temannya itu sudah dekat dari 3 bulan yang lalu, dan dari yang ia dengar bahwa Aldi akan menembak Siska saat di Bali, ternyata bukan hoax semata. Bukannya ia tak mau melihat kejadian manis itu, tapi menurutnya senja lebih penting dari apapun. Marsya cinta senja, secinta dia pada Catur.

Dia mendudukkan dirinya diatas hamparan pasir, dan mencari objek menarik untuk di foto. Namun tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang. Dia menoleh, dan mendapati Dean disana.

"Dean? Ngapain lo disini?"

Dean tersenyum tipis, "Gue boleh duduk di sebelah lo?" Marsya mengangguk. Dengan segera, Dean menempatkam dirinya di sebelah gadis itu.

Dean menghela nafasnya panjang, seperti lelah terhadap sesuatu.

"Lo kenapa dah? Macem orang frustasi tau." celetuk Marsya asal

"Gue boleh ga sih curhat ke lo?" Marsya menaikkan satu alisnya,

"Kenapa harus nanya dulu? Curhat aja kali, gue ga ember anaknya."

Dean mengedikkan bahunya acuh, "Sebenernya, gue ga setuju sahabat gue terus-terusan deket sama cewek manja itu."

"Lo ngomong apasih?" Marsya bertanya tak mengerti.

"Catur. Gue ga suka kalo dia tiap hari, tiap jam bahkan tiap menitnya sama Ana terus."

Oh, wow. Fakta baru.

"Asal lo tau, gebetan lo itu tolol plus goblok kebangetan. Udah tau digantung gini, masih aja dia pertahanin itu cewek. Bucin bener dah!" Marsya bungkam. Jadi, sebenarnya Catur dan Ana tidak pacaran?

"Nah, pas gue tau lo suka sama Catur, gue sama Okta semangat banget mau deketin lo bedua. Kayak, kita dapet ilham aja gitu. Lo sama Ana beda jauh 'kan, secara cewek manja itu ga ada cantik-"

"Stop body shamming!" Marsya memperingatkan. Sebenci apapun dia kepada orang lain, dia tak akan segan-segan menegur siapapun yang mem-body shamming-kan orang itu.

Dean terkekeh, "Sorry. Nah, jadi gimana?"

"Apanya yang gimana?"

"Nggak, gapapa." Marsya mengedikkan bahunya, lalu menatap lurus menuju langit senja. Sungguh indah, menawan seperti pujaan hatinya.

Diraihnya kamera polaroid, lalu mengambil beberapa gambar.

"Eh Dean, gue bisa minta tolong ga?" Dean menaikkan satu alisnya,

"Tolong fotoin gue dong," pinta Marsya. Tanpa berpikir panjang, Dean mengangguk dan meraih kamera di tangan Marsya.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah di jalan menuju hotel, karena memang waktunya untuk makan malam.

Sejak tadi, dia mengoceh hasil foto Dean bagus, tapi cowok di sebelahnya hanya diam menatap kosong ke depan, seperti memikirkan sesuatu.

"Lo jangan kebanyakan bengong, ntar kerasukan leak ga lucu." ceplos Marsya asal

"Ck, gue ga bengong." elak Dean

"Whatever."

"Eh Sya, gue mau cerita ke lo." Dean menginterupsi saat Marsya berbelok menuju kamarnya.

"Apaan?" tanyanya malas,

"Hm, sebenernya gue-"

"MARSYA OMG!"

Marsya menoleh, mendapati Siska berlari senang dengan membawa sebuket bunga mawar besar. Pasti rencana Aldi berjalan mulus.

"Eh temen gueee" Marsya memeluk tubuh Siska senang,

"Gue di tembak!"

"I know right? Gue tau semuanya!" Marsya terkikik.

Dean berdehem, menengahi kegaduhan dihadapannya saat ini.

"Sya, gue balik ya." pamit Dean

"Gajadi cerita?" Dean menggeleng, lalu pergi meninggalkan dua manusia yang sedang terkikik karena yang satu bahagia tiada tara.

The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang