Lagi-lagi, aku melirik jam tanganku, entah sudah ke berapa kalinya. Jarum-jarum itu terus bergerak, menimbulkan suara detakan pelan yang nyaris membuatku gila. Sudah hampir dua jam berlalu, tapi Alice belum juga bangun.
Pikiranku mengulang kembali perjalanan kami dari Seattle pagi tadi. Gadis keras kepala ini terus-menerus berkata bahwa ia baik-baik saja, padahal hanya butuh satu lirikan sekilas bagi siapapun untuk menyadari bahwa ia terlihat sakit. Meskipun begitu, dengan bodoh aku tetap menuruti keinginannya untuk tidak membawanya ke dokter. Dan sekarang aku di sini, menahan siksaan batin sembari berdoa dalam hati agar ia segera tersadar.
Sebagian kecil dari diriku berkata bahwa ini adalah salahku. Selama berhari-hari terakhir, aku terus memaksanya menghabiskan waktu denganku supaya si Bocah Darren itu berhenti mengusiknya. Pikiranku tidak tenang setiap kali Alice berada di luar jarak pandangku, apalagi kalau aku tahu ia sedang bersama bocah itu. Aku mencoba mengingat-ingat kapan aku pernah seprotektif ini terhadap seorang gadis sebelumnya.
Jawabannya, tidak pernah.
Aku memberanikan diri mendekat dan berlutut di sisi tempat tidur. Pandanganku terpaku ke wajahnya. Tak ada lagi rona kemerahan favoritku di sana. Sebaliknya, kulitnya tampak pucat, dengan lingkaran keunguan di bawah kelopak mata. Beberapa helai rambut cokelatnya menutupi sebagian wajahnya dariku.
Kau tak akan pernah mengerti seberapa besar keinginanku untuk menyentuhnya. Demi apapun di dunia, aku ingin sekali mengembalikan warna kemerahan di wajahnya― yang seringkali kulihat ketika ia sedang marah atau tersipu. Bagiku, tak ada yang lebih indah dari itu.
Kuulurkan jariku untuk menyingkirkan rambut dari wajahnya― sangat berhati-hati agar tak bersentuhan langsung dengan kulitnya, atau aku akan kehilangan kendali. Kini aku bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Bahkan dalam keadaan sakit, tak akan ada yang mampu menyangkal bahwa Alice memang sangat cantik.
Melihatnya dari jarak sedekat ini membuat kenyataan yang selama ini kusangkal semakin jelas. Seketika kurasakan perasaan itu mengaliri pembuluh darah dan menetap pada setiap sel di tubuhku.
Ya. Aku mencintai Alice. Teramat sangat mencintainya.
***
Matahari telah merendah ke ufuk barat ketika kulihat Alice bangun dan duduk di tempat tidur. Meskipun lega bahwa ia baik-baik saja, aku tidak bisa menunjukkannya. Maka kupasang ekspresi sedatar mungkin ketika memasuki kamarnya.
"Syukurlah kau sudah bangun." ujarku.
"Kau masih di sini?" serunya kaget.
Aku duduk di kursi belajarnya. "Menurutmu?" balasku tajam. Apakah ia berpikir bahwa aku tega meninggalkannya dalam keadaan selemah itu?
"Terima kasih...dan maaf merepotkanmu...lagi. Sekarang aku sudah lebih baik, jadi kau bisa pulang."
"Kau mengusirku?"
Sejujurnya, aku tidak terlalu terkejut ia masih menjaga jarak denganku. Meskipun begitu, hati kecilku berkata bahwa ia melakukannya semata-mata demi menjaga perasaan Marcel, bukan karena ia ingin menghindariku. Kedengarannya naif, memang. Tapi keyakinan itulah yang berhasil menjaga pikiranku tetap waras. Atau mungkin tidak sama sekali. Sepertinya pikiranku sudah lama keluar dari jalurnya sejak gadis ini memasuki hidupku lagi.
"Bukan begitu, tapi aku tahu kau pasti juga lelah. Kita baru saja menempuh perjalanan jauh, jadi...kupikir kau pasti ingin segera istirahat di rumah—" balasnya, terdengar tidak enak.
Tatapanku terpaku ke wajahnya, berusaha mencari kejujuran di sana. Kuputuskan bahwa aku mempercayai kekhawatiran kecilnya terhadapku. Kemudian, dengan ringan aku berkata, "Aku baik-baik saja. Terima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
LITTLE THINGS
RandomHanya berisi penggalan adegan yang tidak saya ceritakan dalam Sweeter than Fiction. If you wanna know more about Eric, Alice & Marcel, please check this out!